Rena mengedarkan pandangannya ke sekitar lalu dengan cepat mendesah, dapat dilihatnya ruangan yang didekor dengan sangat indah, mungkin Rena akan sangat bahagia saat ini kalau saja ini adalah pernikahan sungguhan-nya –maksudnya bukan pernikahan yang harus ia lakukan karena sebuah peranjian atau apalah.
Rena mengamati tiap detil dari ruangan itu, ruangan yang didominasi warna putih. Putih. Rena kembali mengulang kata itu dan reflek ia memejamkan matanya. Yah, pernikahan yang sesungguhnya seharusnya adalah pernikahan yang putih dan suci, dimana dua jiwa akan dipersatukan dan hidup bahagia bersama untuk selamanya. Sebuah ikatan yang didasari dengan cinta kasih, tanpa ada alasan yang menyertainya karena Cinta sejati adalah cinta yang tak beralasan. Rena menautkan jari-jarinya yang entah mengapa telah bergetar hebat karena lamunannya, pikirannya kembali pada pernikahan gila dan sangat konyol ini. Bagaimana bisa Rena telah menyepakati pernikahan tanpa dasar apapun seperti ini?
Entah Rena harus merasa senang atu menyesal dengan pernikahan ini, kejadian tadi pagi kembali menyeruak begitu saja di kepala Rena, hari dimana Revin dengan mantap mengucapkan ijab kabul dalam satu kali tarikan nafas.
Rena kembali menatap seseorang yang sudah sah menjadi suaminya, Revin sedang berkumpul dengan ah mungkin teman bisnisnya. Merasa diamati Revin segera memutar kepalanya menghadap Rena dan sesegera mungkin kembali menghampiri Rena.
Setelah berjarak beberapa meter di depan Rena, Revin memilih menghentikan kakinya dan kembali mengamati penampilan Rena. Rena terlihat begitu cantik dengan gaun putih yang sedang dipakainya, gaun itu terlihat sangat pas membalut tubuh Rena dan melebar dibagian bawahnya, gaun itu juga dihiasi Kristal Swarovski yang begitu indah. Tidak begitu glamour tapi cukup elegant.
Dengan langkah cepat Revin sudah berada tepat disamping Rena.
“Jangan cemberut seperti itu, tersenyumlah. Kalau seperti itu kau terlihat seperti pengantin yang dipaksa menikah oleh orang tuanya karena lilitan hutang.” Bisik Revin di telinga Rena.
Rena mendengus mendengar bisikan dari Revin itu. “Aku memang terpaksa menikah, lebih tepatnya dipaksa oleh orang gila yang selalu menerorku setiap saat yang setelah ini harus kupanggil suamiku tercinta di depan orang-orang.”
Revin spontan terbahak dan membuat sebagian dari para tamu memusatkan perhatian mereka pada Rena dan Revin. Dengan gerakan cepat Rena mencubit lengan Revin yang langsung mengaduh dan menghentikan tawanya.
“Kenapa kau mencubitku?” tanya Revin dengan menyipitkan matanya.
Rena memutar bola matanya jengah mendengar pertanyaan dari Revin. “Kau tertawa sudah seperti orang gila, dan karena tawamu itu kita menjadi pusat perhatian para tamu. Bisakah kau tidak memalukanku di depan umum?”
“Kenapa kau harus malu?” tanya Revin dengan polos.
“Sekarang kau sudah sah menjadi suamiku, bodoh!” bentak Rena yang disertai dengan tatapan tajamnya pada Revin.
Revin menaikkan sebelah alisnya dan tersenyum simpul, Oh tidak! Apa tadi Rena baru saja mengatakan Revin sebagai suaminya? Yang benar saja? Walaupun Rena dan Revin sudah menikah tapi pernikahan ini kan bukan pernikahan sungguhan.
“Memang sudah seharusnya kau membiasakan dirimu untuk menerimaku menjadi suamimu.” Ucap Revin dengan senyuman nakalnya.
Rena hampir saja melempar pajangan yang ada di resepsi pernikahan itu, kalau saja dia tidak sadar kalau mereka sedang diamati oleh ratusan tamu undangan yang menghadiri acara itu.
Revin berdiri disamping Rena yang membuat Rena melangkah satu langkah menjauhi Revin, Revin mengernyit dan langsung menarik pinggul Rena mendekat padanya yang membuat Rena melempar tatapan tajam pada Revin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unplanned Wedding
ChickLit“Menikahlah denganku.” Apa yang harus dilakukan Farena Airina Cassandra jika mendengar kalimat itu? Mungkin kalimat itu merupakan kalimat terindah untuknya kalau saja tidak karena orang terakhir yang mengucapkan kalimat yang sama adalah orang yang...