Hai semuanya ...
Maaf ya baru ngelanjut cerita ini setelah sangatttt lama menghilang tanpa kabar begitu saja. jujur aku nulis cerita ini sebenernya juga cuma buat ngisi waktu luang dan nyalurin hobi aja. Maaf buat semua yang terlalu lama nunggu cerita ini dan makasih juga karena masih mau nungguin cerita ini. Kemarin-kemarin aku sibuk sama sekolah, jadi ya terpaksa cerita ini harus aku tinggal dulu.
Makasih juga buat yang udah votes dan coments. kalau lupa ceritanya, baca ulang lagi aja ya. Sekali lagi maaf ya... makasih atas pengertiannya :)
Kalau benar ini cinta, biarkan aku memilikinya.
Rena POV
Perlahan kubuka kedua mataku sambil mengerjapkannya beberapa kali. Kulihat sekelilingku, ruangan yang cukup besar dengan dominasi warna putih dan hitam. Disana ada sebuah korden yang dari cela-celanya aku bisa melihat sinar matahari yang mencoba untuk menelusup masuk menandakan waktu yang sudah menjelang pagi.
Kutolehkan wajahku untuk melihat seseorang yang ada di sampingku, terukirlah senyuman kecil di bibirku saat melihat Revin yang ada disana, berbaring dan masih memejamkan matanya. Kupandangi wajah itu, sangat terlihat polos, semua raut angkuh dan arrogantnya hilang begitu saja, yang tersisa hanya Revin yang terlihat tampan tanpa garis wajah keras dan angkuhnya.
Kumiringkan badanku hingga aku bisa melihat Revin sepenuhnya. Laki-laki ini yang akhirnya membuatku merasa akulah perempuan paling beruntung di dunia karena bisa mencintainya dan mungkin begitupun dengannya—walaupun aku belum tahu pasti perasaannya padaku. Tatapanku beralih pada lengan kokohnya, lengan yang sering digunakannya untuk mendekapku, menjanjikan sebuah perlindungan yang membuatku selalu merasa aman dalam dekapannya.
Nafasnya yang teratur membuat dadanya naik turun. Aku makin mendekat padanya, ingin rasanya aku menyentuh dada itu, meringkuk disana, namun aku tahu itu bukanlah ide bagus untuk kulakukan saat ini. namun, sebagian hatiku berkata lain, kuulurkan tanganku untuk menyentuh dadanya, kurasakan dadanya yang hangat. Aku bisa merasakan degup jantung Revin yang berdetak seperti sebuah irama yang bisa membuatku merasa tenang.
Lambat laun tanganku mulai bergerak ke atas, jujur sebenarnya aku agak takut melakukannya, aku takut kalau ia tiba-tiba terbangun dan memergokiku dalam keadaan seperti ini, jadi kuurungkan niatku untuk menyentuh wajahnya dan kembali berada di dadanya.
“Jadi seperti ini caramu membangunkan suamimu, hmm?” suara serak yang muncul tiba-tiba itu membuatku tersentak dan dengan cepat kutarik tanganku lalu segera menjauh sejauh mungkin dari tubuh Revin.
Mataku yang sedari tadi terpaku pada wajahnya sesegera mungkin kualihkan ke arah yang lain. Kurasakan wajahku yang memanas, aku tak pernah menyangka bisa terpergok dalam kondisi seperti ini, berada sangat dekat dengannya, memandangi wajahnya dan membelai dadanya. Oh Tuhan, entah apa yang difikirkan Revin tentangku setelah ini.
“Kau mau menggodaku, ya?” aku yang sedang mencoba menyembunyikan wajahku tiba-tiba saja dengan cepat kembali menatap pria yang sedang menatapku dengan tatapan menuduhnya.
Entah mengapa perkataannya itu seakan-akan menyulut emosiku. Menggodanya? Tentu saja tidak. Dia pikir aku perempuan macam apa? Saat itu juga yang ada di otakku adalah menubruknya sambil menjambak rambutnya kuat-kuat—namun setelah kupikir-pikir lagi itu terlalu bar-bar untuk ukuran wanita anggun sepertiku. Aku butuh sesuatu untuk bisa kulemparkan pada kepalanya itu, kuedarkan pandangaku ke sekeliling, awalnya aku ingin menyambar jam weker yang ada di nakas namun aku tidak ingin dipenjara hanya karena kasus melempar sebuah jam ke kepala suami. Akhirnya aku pilih pilihan teraman, kuambil bantal yang ada disampingku dan dengan cepat kulemparkan tepat ke kepalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unplanned Wedding
ChickLit“Menikahlah denganku.” Apa yang harus dilakukan Farena Airina Cassandra jika mendengar kalimat itu? Mungkin kalimat itu merupakan kalimat terindah untuknya kalau saja tidak karena orang terakhir yang mengucapkan kalimat yang sama adalah orang yang...