Revin POV
Suara isakan pelan membuatku memepercepat langkah kakiku. Langkahku terhenti ketika melihat seorang perempuan sedang duduk di bangku halaman belakang sambil sesekali menyeka air matanya. Dia terlihat sedang melamun, memandang lurus ke arah depan entah sedang memikirkan apa. Kupercepat langkahku, air matanya sesekali masih menetes dari mata bulat itu membuatku tak kuasa menahan diri untuk tidak menghapus air bening di pipinya.
“Hei,” kataku sambil menepuk pelan bahunya. Dia tampak terkejut namun ekspresinya kembali seperti semula.
“Revin.” Dia menggumamkan namaku pelan.
Aku mengelus pelan punggung tangannya, “Hmm?” sahutku.
Dia kembali diam.
Kusentuh pipinya yang masih terasa lembab dengan air matanya. “Kenapa?”
Dia tersenyum kecil sambil menggelengkan kepalanya. “Aku hanya merindukan Mama,” ucapnya seraya menyeka air mata yang kembali menetes.
Mendengar itu membuatku merasa ikut merasakan apa yang dirasakannya, seperti biasa aku akan memeluknya tiap ia merindukan Mamanya. Mencoba memberikan kehangatan yang ia butuhkan. Perlahan kuusap punggungnya yang mulai bergetar pelan. Aku tahu, yang dibutuhkannya saat ini hanyalah menangis untuk melampiaskan perasaannya dan tugasku disini adalah menemaninya dan menjaganya.
“Aku selalu disini, akan selalu bersamamu dan tidak akan membiarkanmu sendiri,” gumamku yang terkesan seperti sebuah mantra yang selalu kurapalkan tiap kali bersamanya.
Dia tersenyum, senyum yang begitu manis. Didongakkannya wajahnya menatapku, “Aku percaya, kau akan selalu menjagaku.”
Dia begitu menggemaskan, kuacak pelan rambut hitamnya dan itu cukup untuk membuatnya mengerucutkan bibirnya kesal. Kembali ia mengusap air matanya di tengah senyum lebarnya, kemudian ia mendekatkan wajahnya dan kurasakan sentuhan lembut dari bibirnya yang mungil tepat di pipiku.
“Kau akan selalu menjagaku, Revin.”
Mataku langsung terbuka begitu saja dengan nafas tersengal-sengal. Kucoba untuk menenangkan diri dan mengatur nafasku saat kurasakan sentuhan lembut di lenganku.
“Mimpi buruk?” Suara itu membuatku menoleh ke samping dan mendapati Rena tengah terduduk sambil mengusap lembut lenganku.
Kutarik nafas dalam-dalam lalu membuangnya perlahan, kuanggukan kepalaku untuk menjawab pertanyaannya itu.
Aku melirik jam yang berada di atas nakas samping tempat tidurku. Masih menunjukkan pukul 01.50 pagi.
Entah mengapa aku bermimpi seperti itu, tunggu ... itu bukan sekedar mimpi tapi itu kenangan, aku pernah mengalaminya bersama Larisa—dulu. Kenapa aku harus kembali dihantui oleh perasaan macam ini?
Kembali kutatap perempuan yang ada dihadapanku, wajahnya terlihat begitu khawatir. Diulurkan sebelah tangannya ke keningku kemudian telapak tangannya mengusap keningku yang baru kusadari ternyata basah dengan tetes-tetes keringat.
Kuraih tangan mungilnya yang masih berada di keningku kemudian kuarahkan menuju bibirku. Kugenggam erat tangan itu seolah aku tak akan pernah melepaskannya meski sedetik pun.
“Aku tidak akan pernah meninggalkanmu, Rena,” ucapku pelan seraya menatap mata hitamnya yang terlihat bingung dengan sikap anehku ini.
Aku tak peduli apapun lagi, kupeluk tubuh perempuan cantik yang ada di sampingku ini meskipun aku tahu, ia agak terkejut dengan tubunya yang awalnya menegang saat menerima pelukanku. Dia kembali membelai lenganku lembut. “Kau baik-baik saja?” tanyanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unplanned Wedding
ChickLit“Menikahlah denganku.” Apa yang harus dilakukan Farena Airina Cassandra jika mendengar kalimat itu? Mungkin kalimat itu merupakan kalimat terindah untuknya kalau saja tidak karena orang terakhir yang mengucapkan kalimat yang sama adalah orang yang...