6 - Author : Sabtu Santai

107 10 0
                                    

Free guitar instrument by Eddie Van De Meer

Hari sabtu yang membosankan. Bara terlihat muak pada selebaran kertas yang berisi corat-coret pensil. Cuaca diluar sangat terik. Kipas angin yang terus berputar pada kecepatan maksimal tampaknya tak membantu menyejukkan suhu ruangan. Sesekali Bara melap tengkuk dan kening yang basah oleh keringat. Tanpa sadar wanita itu telah mendengus kesal sebanyak tiga kali. Mengamati bekas tulisan tangannya pada kertas yang berserakan.

"Ra, nonton yuk?" Maisha-wanita berkulit sawo matang itu duduk disamping Bara.
"Ke bioskop? Gak ah. Malas."
Maisha mendengus kesal karena permintaannya tak berjalan mulus. Diperhatikannya beberapa kertas yang bertebaran disampingnya.
"Tumben lu kerja hari libur gini, Ra?" tanya Maisha namun tatapannya fokus mengamati sebuah gambar yang dilukis Bara.
"Gue lagi siapin cover untuk novel yang bakal terbit."
Bibir Maisha membulat sempurna mendengar jawaban Bara. Direbahkannya tubuh diatas karpet. Menatap langit-langit berwarna putih yang sudah mulai kusam.
"Ra, gimana kalau suatu hari nanti lu jatuh cinta sama cowok yang gak sesuai sama kriteria lu?" tanya Maisha mengalihkan tatapannya pada Bara.
"Gue gak tahu." jawab Bara singkat.
Bara terlihat fokus dan serius. Kacamata bertengger dihidungnya. Rambut ombaknya yang tadi tergulung rapi, kini mulai berantakan. Beberapa helai rambut mencuat keluar dari ikatan. Maisha menatap jengkel pada Bara karena pertanyaannya tak digubris. Dia memutar tubuh membelakangi Bara. Sepuluh menit kemudian, Maisha sudah tertidur pulas.

"Hmh...Dasar!" gumam Bara pelan melirik Maisha.
Suasana dirumah cukup tenang. Suara mesin kipas angin usang memecah keheningan. Lembaran kertas yang ditindih dengan buku ikut bergelayut dihembus angin. Sesekali terdengar suara raungan kendaraan yang melintas di depan rumah. Sinar mentari menebus jendela kaca memberi penerangan yang cukup hingga ke sudut ruangan.

"Huff..."
Bara menyandarkan tubuh ke sofa. Menyelami setiap peristiwa yang dialami. Tak mudah saat memilih untuk menjadi seorang penulis. Begitu banyak cibiran dari keluarga hingga tetangga yang sampai ditelinga orang tuanya. Sulit. Bahkan sangat sulit. Tak hanya keluarga, bahkan orang tua Bara juga memaksanya untuk segera melayangkan lamaran kerja ke perusahaan. Bagi kebanyakan orang, menjadi seorang penulis bukanlah suatu profesi. Hanya pekerjaan yang menyia-nyiakan waktu. Terlebih karena pemikiran orang tua dan masyarakat di desa yang masih kolot.
'Memang apa yang salah dengan pekerjaanku? Setidaknya aku merasa bahagia dan bergairah saat merangkai kata demi kata hingga menjadi susunan kalimat yang menghasilkan suatu kisah.'

Pernah sekali Bara menceritakan tentang perasaan gundahnya kepada Joy dan Maisha. Beruntung, kedua wanita itu memberi dukungan kepada pilihan Bara selama itu adalah kegiatan yang positif dan membuatnya bahagia. "Yang sabar, Ra. Lu gak boleh nyerah sama cita-cita lu. Biarin mereka mencibir. Cibiri balik dengan kesuksesanmu kelak." Kalimat itulah yang dikatakan Maisha. Setidaknya masih ada yang percaya padanya.

Terik matahari semakin cerah dan menyilaukan. Suhu diruangan kian naik menjadi semakin panas. Maisha bangkit dari tidurnya sambil mengipas-ngipas leher dengan tangan.
"Gerahnya." katanya sembari mengamati kondisi sekeliling. Diraihnya sebuah jepitan rambut untuk menggulung rambutnya agar udara menghembus tengkuknya yang basah karena keringat.
"Belum selesai juga,Ra?" tanyanya sembari menyandarkan kepala pada dudukan sofa. Kepalanya terasa pusing akibat suhu yang terlalu panas. Maisha memijat pelan pelipisnya.
"Belum."
Maisha bangkit berdiri menuju dapur. Dan kembali dengan dua buah gelas dan susu stoberi dingin dari kulkas.
"Joy masih asyik dikamar ya?" tanya Maisha sambil meneguk minuman.
"Iya. Sejak ketemu sama klien perusahaannya itu, dia jadi makin sering pegang handphone." jawab Bara. "Siapa namanya? Gue lupa. Alvin ya?" tanyanya balik sambil menoleh sekilas pada Maisha.
Maisha menatap lurus pada jendela kaca yang silau karena sinar matahari. "Elvio." jawabnya pelan.

Mereka kembali diam. Kompak menatap lurus kedepan namun pikiran mereka mengawang. Keheningan masih memainkan peran. Sinar mentari sedikit meredup. Perlahan cerahnya mulai menyingsing. Menyisakan suatu kehampaan pada kilas warna kelam di ruangan. Keadaan di rumah masih terang. Namun terangnya tak setangguh sinar keemasan sang surya.

Bara meneguk habis minumannya. Dilapnya sisa susu yang menempel di ujung bibir. Berselang beberapa menit, diraihnya setiap kertas dan mulai membereskan 'perkakas'. Buku dan alat tulis disusunnya rapi diatas meja. Lalu kembali dengan laptopnya.
"Lu mau ngapain?" tanya Maisha.
"Nonton." jawabnya singkat dan padat.
"Drama korea?" tebak wanita pemilik rambut hitam legam dan lesung pipi itu.
"Film India." jawab Bara sambil fokus memperhatikan deretan judul film pada layar laptop.

Sanam Teri Kasam
"Ini film lama?" tanya Maisha.
"Gak. Ini masih baru kok. Pemerannya emang kurang terkenal sih." jelas Bara.
"Sha. Makan yuk. Sambil nonton film." ajak Bara sembari bangkit berdiri. Maisha pun mengikutinya dari belakang.
Semuanya sudah dipersiapkan. Nasi, lauk dan sayur yang dimasak Joy, hingga cemilan teman nonton. Mereka mengatur posisi agar segala sesuatunya berada pas tempat yang tepat.
"Lu pimpin doa dulu deh." kata Maisha.
Selesai berdoa, kedua wanita itu menatap lurus pada laptop. Manik bola mata Maisha dan Bara fokus menonton film yang sedang diputar. Sambil tangan mereka yang sibuk menyuapkan makanan ke mulut.

"Cowoknya parlente banget." komentar Bara dengan mulut terisi penuh.
"Lu belum nonton juga? Kirain udah." kata Maisha.
Mereka kembali fokus pada fragmen film. Hingga tanpa mereka sadari nasi dipiring sudah habis. Buru-buru Bara dan Maisha bangkit dan berlari kecil menuju dapur.

Tatapan mereka menatap lasat pada layar laptop. Wajah mereka ikut meniru ekspresi dari pemeran didalam film. Mereka tersenyum saat kedua pemeran utama bernyanyi dan menari meliukkan tubuh mengikuti irama.

"Cowoknya romantis banget. Cuek tapi full attention buat ceweknya." Bara cengengesan dengan senyum mengembang diwajahnya. Mungkin saja dia berkhayal telah menjadi pemeran utama wanita.
Maklum lah. Imajinasi seorang penulis. Wajah mereka masih asyik memperhatikan adegan demi adegan. Mata mereka berubah merah dan berkaca-kaca. Menahan gumpalan cairan bening disana. Beberapa kali Bara menatap langit-langit rumah berusaha meredam cairan di pelupuk mata. Maisha menarik nafas panjang dan membuangnya dengan kasar. Dikepalnya tangan kiri sekuat tenaga seolah dapat menjadi pertahanan agar air matanya tak lolos membasahi pipi.

Tak ada dialog yang terucap diantara mereka. Dua pasang manik bola mata itu masih fokus pada persegi empat 14". Walau sudah berusaha, pada akhirnya bendungan kecil itu pecah. Emosi mereka diaduk-aduk. Terbawa pada suasana film. Mereka bergantian menarik lendir yang sudah menyumbat hidung. Meskipun keduanya kompak menangis karena sedih dan terharu dengan film itu, namun tak satupun mau mengalah menatap atau melirik ke samping sekedar melihat keadaan temannya. Keduanya gengsi atau lebih tepatnya malu karena cengeng hanya karena sebuah film.

Ditengah perasaan lara dan gundah gulana yang menyelimuti Bara dan Maisha, Joy muncul dari balik pintu kamar. Menatap heran pada sahabat-sahabatnya. Kemudian mengangguk paham setelah mendengar percakapan dalam bahasa India.
"Dasar cengeng!" dia mengumpat pelan tak ingin merusak perasaan haru biru di ruang tamu.
Joy meraih handuk dan melesat menuju kamar mandi. Membersihkan diri kemudian berbenah -sepertinya ingin pergi kesuatu tempat.

"Guys." katanya memecah kesenyapan yang menguasai Bara dan Maisha
"Iya?" serempak kedua wanita itu menoleh Joy dengan mata merah.
Cih! Joy nyengir melihat penampilan berantakan dan lusuh kedua temannya.
"Gue mau ke mall. Refreshing. Bosen dirumah terus." jelas Joy sambil mengenakan sepatu kets.
"Sama siapa?" tanya Maisha.
"Temen." jawab Joy singkat sembari bangkit dan menyelempangkan tasnya dipundak.
"Ok. Hati-hati." kata Bara.
"Ok. Nanti gue beliin makanan." ucap Joy dari balik pintu yang hampir tertutup sempurna.

Bara dan Maisha kembali pada layar laptop. Film yang tadi jeda kini berlanjut. Kembali mengubek-ubek perasaan mereka. Keduanya kembali fokus menyaksikan film hingga usai walau diiringi air mata.

To be continued...

Updatenya cuma 1 chapter...

xOxO

BertigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang