9 - Bara Aila

47 5 0
                                    

"Woahh...!"
Kutarik kedua tangan jauh diatas kepala. Kuputar pinggang ke kiri dan ke kanan.

"Akhirnya pulang juga." pekikku merasa gembira. Mataku sangat perih dan pegal. Tumpukan kertas yang dijepit adalah saksi bisu betapa melelahkannya pekerjaan yang kulewati. Kulirik jendela yang sejak tadi memantulkana cahaya terang sang mentari. Kuberjalan kesana dan memperhatikan suasana diluar gedung-gedung yang menjulang tinggi. Kupejamkan mata menikmati sisa kehangatan sang surya di senja ini. Terasa sangat nyaman dan menyenangkan.

"Ra! Kamu udah selesai edit naskahnya?" tanya Putra dengan beberapa naskah lain di tangannya.
'Ahh...Buset! Kapan selesainya sih.' batinku diiring kepala yang tertunduk lesu. Selain penulis, aku juga menjadi seorang editor. Menyeleksi ratusan cerpen dan puisi yang masuk ke email perusahaan sudah menjadi kegiatan rutin untukku. Membosankan? Ya. Memuakkan. Sangat. Melelahkan? Sudah pasti. Jadi kenapa aku masih bertahan disini? Jawabannya hanya satu. Imajinasi. Hanya ditempat ini aku dapat menuangkan imajinasi dalam bentuk tulisan.

"Itu mau diedit lagi?" protesku. Baru saja aku menyelesaikan lima buah tumpukan naskah yang sangat tebal. Dan sekarang, naskah baru yang tak kalah tebalnya sudah menunggu.

"Kenapa tiba-tiba lesu gitu,Ra?"
"Capek banget. Pundakku pegal banget. Baru juga aku tarik nafas melepas lelah. Eh yang baru udah datang." jawabku lunglai.
"Ini besok lagi aja dikerjain." ujar Putra dengan entengnya.
"Yah sama aja. Besok atau hari ini." kataku sedikit ketus.
"Lah kamu kan kerjanya sebagai editor plus penulis. Ya udah pasti kerjaannya membaca atau menulis. Pekerjaan yang kamu ambil ini selamanya akan selalu berhubungan dengan kertas dan pena." jelasnya sembari duduk di kursi paling depan.
'Dia sih gampang bisa ngomong kayak gitu. Lah gue gimana? Semua naskah yang diedit dia serahin ke aku. Dia cuma dapat enaknya doang. Tinggal baca terus bilang " Iya udah bagus." Emang dia bisa tahu isinya cuma dengan bolak balik kertas? Kayak doping gue pas kuliah aja.' rutukku didalam hati.

"Lu gak pulang?" tanyanya sambil membereskan laptop dan beberapa alat tulis.
"Sepuluh menit lagi. Lagi pewe nih." kataku sambil memutar kursi.
"Udah mendung tuh."
Kutoleh kearah jendela kaca. Benar saja. Sinar mentari yang tadi sempat memberiku kehangatan dari cahayanya, kini telah bersembunyi dibalik awan hitam. Suasana diluar menjadi gelap.
"Iya deh. Lu duluan aja."
Kembali kurebahkan kepalaku yang sedikit pusing efek terlalu lama melihat laptop. Bahkan minus mataku sepertinya semakin tinggi karena akhir-akhir ini aku rutin menatap layar laptop dalam waktu yang lama.

Tiba-tiba suara geledek memecah telinga.
Sontak aku terbangun dan bangkit dari kursi. Hampir saja aku tertidur lelap dan mungkin tak akan bisa pulang. Kuraih tas ransel dan segera melesat keluar kantor. Angin berhembus sedikit kencang membuatku merasa kedinginan. Kutarik rapat jaket jeans dan kusembunyikan tanganku kedalam kantong. Aku menoleh kekiri dan kekanan.
"Tumben gak ada." kataku entah pada siapa. Tak ada seorangpun disana selain diriku seorang.
'Perasaan apa ini? Kecewa? Nggak! Ra, lu kenapa kecewa gini? Inget ucapan lu ke Maisha dan Joy!' tegasku pada diri sendiri.
Namun tak dapat kusangkal. Hatiku sedikit kecewa tak mendapatinya disana.
Aku berpikir sejenak mengingat-ingat perlakuanku padanya. Pada Rey.

Flashback on
"Lu ngapain ikutin gue terus?" bentakku pada Rey yang sejak tadi mengikuti berjalan dibelakang.
"Ini arah rumah gue." jawabnya santai.
Mendengar jawabannya aku putar balik kearah yang berlawanan. Tetapi dia masih juga mengikuti.
"Sekarang apa lagi? Ini juga searah kerumah lu?" tanyaku sengak.
"Iya, kok tahu. Kalau jalan dari sini, bakal lebih deket. Ini jalan pintas." katanya tersenyum. Tak ada rasa takut diwajahnya walau aku berulang-ulang membentakknya.

Flashback off

"Gue sejahat itu ya?" lalu diam sejenak.
"Kayaknya gak deh." kataku menyangkal perasaan bersalah.
Pikiranku melayang memutar memori yang lain.

BertigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang