18 - Author : Yes, I need you.

61 7 2
                                    


Seorang pria dengan jaket denim tampak gelisah sambil berjalan mondar-mandir di depan sebuah kantor penerbitan. Wajahnya was-was sambil sesekali mengintip ke dalam lobi. Dia adalah Rey. Sudah seminggu dia tak melihat Bara di kantor. Ketika bertanya pada karyawan yang lain, mereka bilang bahwa Bara masih bekerja tapi hanya sesekali ke kantor hanya ketika menyerahkan editan naskah novel.

Hampir satu jam dia kelihatan risau sebelum memutuskan untuk mendudukkan diri di bangku toko yang letaknya tak jauh dengan kantor itu. Matanya tampak awas dari balik kacamata. Dengan tatapan tajamnya, dia terus memperhatikan kondisi sekitar berharap sosok wanita yang dicarinya akan muncul.

Waktu menunjukkan pukul 6.15 wib. Namun Bara belum juga terlihat. Rey masih setia menunggu. Air mukanya tampak cemas. Beberapa kali dia beranjak berdiri ketika melihat beberapa wanita yang kelihatan mirip dengan Bara yang sedang dinantinya.

Pukul 7 malam. Langit sudah gelap dengan beberapa bintang kelap-kelip. Sejak tigapuluh menit yang lalu tak ada seorangpun yang keluar melewati pintu. Mungkin saja seluruh karyawan sudah pulang.
"Kayaknya Bara gak ke kantor juga hari ini." katanya dengan raut kecewa.

Rey ingin kembali ke rumah sebelum matanya menangkap seorang wanita berambut ombak dengan beberapa buku tebal di tangannya. Refleks sebuah senyum mengembang di wajah Rey. Secepat kilat dia belari menghampiri Bara.

"Bara." panggilnya sambil menahan lengan wanita itu.

Senyuman masih mengembang di bibirnya. Sangat kontras dengan air muka Bara yang terlihat lesu dan tidak bersemangat.

"Apa?" sahut Bara dengan nada ketus. Wajahnya juga tak kalah jutek.
" Lu kemana aja? Selama seminggu gue tiap hari ke sini, tapi lu gak pernah ke kantor."
Sedikit pun Bara tak menggubris pertanyaan Rey. Dia berlalu pergi tanpa memikirkan bagaimana perasaan lelaki itu. Dia juga tak mendengarkan Rey yang terus memanggil.

Bara bukannya ingin melukai perasaan Rey. Demi apapun, dia begitu gembira melihat pria jangkung itu. Namun disamping itu, kehadiran Rey juga ikut membangunkan perasaan gundah-gulana yang sedang menyelimuti Bara. Dia begitu kesal karena sedang mendapati masalah, pria itu justru tak ada disampingnya. Bara tahu itu sungguh egois. Rey bukanlah seseorang yang segala waktunya akan tercurah untuk Bara seorang. Wanita itu mengerti benar jika perasaan marahnya saat ini sungguh tak wajar. Rey tak memiliki salah apapun. Sedikitpun dia tak layak disalahkan atas segala hal yang menimpa Bara.

"Ra, lu kenapa sih? Bisa gak tunjukin respect sedikit aja. Setidaknya hargainlah waktu gue yang udah terbuang untuk nungguin lu."
Kali ini wajah Rey juga terlihat kesal atau mungkin marah. Rahangnya tampak mengeras. Tanpa sadar dia menggenggam kuat lengan Bara membuat wanita itu sedikit meringis.
Suasana senyap. Bara masih bungkam, namun matanya memancarkan kilatan amarah.
"Bisa gak sih lu pergi dari hidup gue? Muak banget setiap hari harus ketemu sama lu." ujar Bara dengan sinis. "Jangan tambahin beban gue! Gue cuma mau hidup tenang. Gue gak suka terus diusik dengan kehadiran lu. Jangan jadi benalu!" Ucapan Bara begitu tajam dan menusuk.

Untuk beberapa detik Rey hanya menatap Bara tanpa ekspresi yang berarti. Bibirnya masih mengatup tanpa kata. Ya, dia merasa sedih dengan setia perkataan Bara. Bukan hanya kali ini. Cukup sering dia merasa kecewa dengan sikap ketus dan ucapan kasar wanita itu.
'Like always, Rey.' batinnya. Kepalanya tertunduk. Dipijatnya pelan pelipisnya. Tak tahu harus dengan cara apalagi dia menunjukkan rasa sayangnya.

Dia membuang nafas kasar untuk kesekian kali.

"Heh!" Rey tersenyum sinis. "Gue bingung kenapa bisa sayang banget sama lu. Padahal notabenenya lu itu cewek gak punya hati dan gak layak untuk dicintai. Nyesal banget hati gue udah jatuh ke pilihan yang salah." Rey diam sejenak. Dia menatap nanar pada Bara yang sudah berdiri mematung di hadapannya. Ditariknya kasar Bara kedalam pelukannya. Selama beberapa detik wanita itu meronta dan berusaha melepas pelukan Rey sebelum dirinya tenang mendengar kata-kata yang diucapkan oleh pria itu.

BertigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang