24. Bara Aila : Truth

41 3 0
                                    

"Ra." Rey mencolek lenganku. Padahal aku tengah asyik menikmati susu kotak strawbbery kesukaanku sambil memperhatikan para pejalan kaki yang berlalu-lalang. Walau sedikit terusik tapi aku menoleh juga padanya yang ternyata sedang memperhatikanku sambil menumpukkan kepalanya di tangan kanan.

Aku mengernyit melihat tingkahnya ini, dan sedikit malu. "Ngapain lu liatin gue kayak gitu?" tanyaku dengan wajah galak. Bukannya segera mengalihkan padangan tapi dia malah semakin intens pada tatapannya. "Lu apa-apaan sih!" Kututup kedua matanya dengan telapak tangan.

"Ra, lu malu ya gue liatin kayak gitu?" Rey menampilkan cengiran kemenangan dan mencondongkan sedikit tubuhnya kearahku. Spontan saja aku mencondongkan tubuh ke belakang. Kejadian dihari pertama bertemu dengannya akan selamanya terpatri dalam ingatanku.

"Malu apaan." Sanggahku namun masih dalam posisi siaga satu. Pandanganku sudah terlempar ke sembarang arah menjauhi manik matanya. "Mundur sana! Pinggang gue encok!" Kudorong pelan tubuhnya agar segera mengakhiri posisi tak sedap itu. Dan jujur saja pinggangku memang mulai sakit.

Rey memundurkan tubuhnya dan masih dengan senyum diwajahnya. "Pipi lu merah,Ra. Lu malu ya gue liatin?"

Aku tak menjawab. Jika kujawab maka dia akan terus melayangkan pertanyaan yang aneh-aneh. Kualihkan tatapanku kembali pada jalanan dengan wajah jengkel.

"Gimana perasaan lu sekarang?"

"Perasaan apa?!" semburku yang membuat Rey sontak mengernyit dengan tatapan aneh. Aku hanya terlalu kaget kalau-kalau dia bertanya tentang perasaan...

Cinta... Oh betapa malunya!

"Tentang novel itu. Gimana perasaan lu sekarang? Masih sedih atau udah lebih baik?"

"O...Oh! Itu..." Aku berdeham sambil merutuki diri karena berpikir terlalu jauh. "Udah lebih baik."

"Baguslah."

Rey kembali menyesap minuman isotoniknya.

Sebenarnya selama ini aku penasaran tentang satu hal. Namun karena kuanggap tak penting, jadi kuabaikan saja. Ternyata aku salah. Meski beberapa kali aku berusaha mengabaikan, tak bisa disangkal aku tetap penasaran tentang hal itu.

"Rey..."

"Iya?" tak perlu menunggu lama Rey sudah menatapku lekat.

Dan rasa gugup sialan itu kembali menggerogotiku. Pertanyaan bodoh itu tertahan di ujung bibirku dan rasanya begitu sulit untuk diucapkan.

"Ada apa,Ra?"

"Lu...sekarang semester berapa?"

'Kenapa malah pertanyaan ini yang keluar?' batinku. Aku meringis melihat reaksinya yang saat ini menatapku dengan wajah datar.

"Akhirnya..." katanya sambil tersenyum senang. "Lu tertarik untuk tahu tentang gue." Senyumnya semakin lebar.

"Ha?"

"Yes!"

Rey mengepalkan tangannya bagai mendapat sebuah jackpot.

'Apa dia sebahagia itu?'

Sepertinya memang selama ini aku nggak begitu peduli tentang Rey, padahal tanpa sadar aku semakin dekat dan tak bisa dipungkiri aku merindukannya setiap hari.

Astaga! Apa aku mengatakan bahwa merindukannya?

"Gue udah semester 6,Ra. Jurusan desain grafis."

"Desain grafis?" Diriku yang tadinya menopang dagu berubah tegak mendengar pengakuan Rey. Ada sesuatu yang menarik disana.

"Iya. Aku mau jadi animator suatu hari nanti. Aku mau buat film-film animasi yang bisa menghibur anak-anak kecil."

BertigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang