7. Hantu Itu Bernama Aini

198K 10.5K 764
                                    

"Siena, kamu sudah pulang? Buruan kamu ganti baju ya. Kita makan siang sambil ibu mau cerita sesuatu."

Alis Siena terangkat halus menerima sambutan ibunya yang tanpa basa-basi langsung bicara panjang, begitu pintu terbuka. Dia baru saja pulang dari sekolah. Walau baru dua hari belajar di sekolah baru, tapi dia sudah bisa pulang sendiri naik angkutan umum.

Sekolahnya bisa dijangkau dengan naik bus TransJakarta yang relatif aman. Selain itu, dia sudah mempelajari jalan pulang bersama ibunya sebelum mulai sekolah.

Siena hanya mengangguk, lalu bergegas ke kamarnya di lantai atas. Setelah berganti pakaian, buru-buru dia turun ke ruang makan. Selama melangkah turun, dia sempat melirik ke kanan kiri. Tapi tak tampak sedikit pun gadis yang kemarin memaksa Siena menolongnya.

Sudah pukul tiga sore. Sekolah Siena memang baru bubar pukul dua siang. Ibunya selalu menunggu anak gadisnya itu pulang baru kemudian makan siang bersama. Ibunya tidak mau makan sendirian.

"Ada cerita seru apa sih, Bu?" tanya Siena sambil menaruh secentong nasi ke piringnya.

"Tadi ibu ke rumah sebelah. Kenalan sambil ngobrol-ngobrol. Penghuninya namanya Bu Wiwin, nama suaminya Pak Ruli, tapi ibu belum ketemu Pak Ruli. Masih kerja. Mereka punya anak dua. Yang pertama laki-laki baru kelas 6 SD, yang kedua perempuan baru lima tahun. Hari minggu besok ibu ajak kamu kenalan dengan mereka."

"Oke. Cuma itu cerita serunya?"

"Bukan tentang keluarga mereka yang seru. Tapi kisah keluarga yang sebelumnya tinggal di rumah ini."

Mendadak ada rasa berdesir menjalari jantung hingga ke pipi Siena.

"Pernah ada yang mati di rumah ini?" tanya Siena keceplosan. Dia terkejut sendiri mendengar pertanyaannya.

Ibunya membelalak.

"Kamu ... sudah lihat sesuatu yang aneh di rumah ini ya?"

"Eh, nggak kok, Bu. Aku cuma ... merasakan aura sedih di rumah ini," sahut Siena buru-buru. Dia terpaksa berbohong supaya ibunya tidak cemas.

Ibunya menatapnya curiga hingga matanya menyipit.

"Kamu sekarang berubah, nggak seperti dulu waktu masih kecil. Dulu, tiap kali melihat sesuatu yang seram, langsung menjerit-jerit dan laporan sama ibu. Sekarang, sudah lama kamu nggak cerita apa-apa lagi. Apa memang nggak ada apa-apa, atau kamu sudah nggak bisa lihat yang aneh-aneh lagi?" tanya Bu Desi sambil berbisik dan memajukan kepalanya ke arah Siena. Seolah khawatir bakal ada yang mendengar ucapannya.

"Aku... sekarang sudah lebih kuat daripada dulu, Bu. Dan sekarang aku bisa pura-pura nggak melihat ... "mereka"."

Jeda sesaat sebelum Siena menyebut kata "mereka" dan memberi tekanan pada kata itu. Seketika jantung Bu Desi berdetak lebih cepat. Dia langsung paham apa yang dimaksud Siena.

Bu Desi tersenyum, menepuk lembut lengan Siena.

"Putri ibu memang sudah makin dewasa. Makin pintar. Nggak usah khawatir sama ibu saat di rumah sendirian. Bu Wiwin sudah ngenalin ibu sama orang yang mau kerja beres-beres rumah tapi nggak perlu tinggal di sini. Cuma datang jam delapan pagi, pulang jam 5 sore. Lumayan buat nemenin ibu selama kamu sekolah dan ayahmu kerja. Namanya Iis. Mulai besok dia sudah bisa mulai kerja."

Siena tersenyum sambil menghela napas lega.

"Syukurlah, ibu nggak sendirian lagi di rumah," ucapnya.

"Oke, kita selesaikan makan dulu. Setelah itu, ada yang mau ibu tanyain lagi ke kamu," kata Bu Desi.

Siena mengangguk setuju. Kemudian mereka makan hanya dengan sedikit bicara.

Aku Tahu Kapan Kamu Mati (Sudah Terbit & Difilmkan) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang