Jawen melenguh. Nggak, nggak, nggak! Ini nggak boleh terjadi! Apa pun alasannya, dia harus bisa melakukan ini sekarang. Kalau dia pasrah seperti ketua tahun-tahun sebelumnya, maka tempat ini akan segera dirobohkan karena nggak memiliki peminat. Jawen mengetuk-ngetuk pensil di atas mejanya. Di depannya sebuah proposal kegiatan bertengger manis, lengkap dengan rincian dana di dalamnya. Jawen menghela napas, lalu tersenyum mantap. Ini demi kemajuan dan kesejahteraan bersama dan bukan untuk dirinya sendiri. Jadi, mau nggak mau dia harus mau!
"Kamu yang mau ngadep, Wen?" Rulita mengerjap nggak percaya.
"Iya, kali ini aku!"
"Kamu kan masih baru, belum paham medan perang. Tahun lalu kita nggak boleh show off. Kata wakasek kesiswaan, yang kayak gini sama sekali nggak mencerminkan budaya bangsa. Lebih baik kita ngadain acara yang nasionalis, itu katanya."
Jawen menggeleng kencang dan mengayunkan proposalnya. "Aku harus dapet kali ini. Masalah humas serahin ke aku!"
Proposal itu diletakkan kembali di atas meja. Ada tulisan besar di cover, dengan jenis huruf rockwell, dan mentereng sebuah judul di sana. "PROPOSAL KEGIATAN CLUB COSPLAY DALAM RANGKA MEMPERINGATI ULANG TAHUN SMA 17 JAYA PATI" tulisannya. Jawen menyentuh dagu sekilas, lalu sok manggut-manggut beberapa kali.
"Apa kita ditolak gara-gara font-nya yang nggak sesuai dengan standar karya tulis ilmiah?" tanyanya.
Rulita menggeleng kencang. "Aku udah ganti banyak font, dan proposal kegiatan club lain juga nggak sama. Tapi kenapa mereka bisa dengan mudahnya dapat dana? Sementara kita nggak. Alasannya jelas gara-gara wakasek anti sama kegiatan yang nggak nasionalis."
Jawen mendengus nggak terima. Di sekolahnya, ada banyak ekskul yang lazim diikuti oleh para siswa. Mereka nggak menyebut "ekskul" untuk kegiatan luar sekolah tersebut, melainkan menggantinya dengan sebutan "club". Memang isinya nggak jauh-jauh seperti club. Ada club basket, club futsal, club dance, club lukis, dan club lainnya. Yang nggak disebut club hanya dua ekskul. Pramuka dan PMR.
"Aku yang ngadep, deh! Kita udah berjuang sampe sejauh ini, dan kalau nggak berhasil... kita yang perih." Jawen menghela napas sejenak.
"Gimana caranya, Wen?" Gilang mulai penasaran. Jawen baru gabung di klub ini sejak jadi murid baru, dan dia baru bisa aktif karena selama tiga hari dia sakit sejak upacara penerimaan murid baru dilakukan. Jawen tersenyum puas. Proposal di tangannya dia angkat lagi, lalu dibukanya halaman yang berisi rincian dana.
"Tambahin dananya!"
Semua orang melongo nggak paham. Bagaimana mungkin bisa minta tambahan dana? Dana segitu saja masih ditolak, apalagi kalau dana yang lebih besar! Jawen tersenyum, lalu menunjuk otaknya dengan jari telunjuk.
"Kalian yang bikin administrasinya, masalah lapangan serahkan ke aku! Aku juga punya senjata yang mungkin belum kalian tahu." Dia mengangguk puas. Memang nggak ada salahnya memanfaatkan suatu "sumber daya".
Jawen tersenyum ketika teman-temannya mulai mengubah angka-angka di proposal itu. Perdebatan kecil terjadi ketika dana yang nggak masuk akal mereka susun, namun jawaban Jawen sangat sederhana.
"Seberapa nggak masuk akalnya dana yang kalian bikin, aku masih bisa maju. Beri aku waktu sehari!"
Semua orang seolah mendapat oase di tengah padang pasir. Jawen memang anggota baru, namun entah kenapa kali ini mereka pasrah dan berharap dengan kemampuan anak baru bernama Jawentari Mahendra Rahespati ini. Ketika proposal itu sudah terketik dengan nggak masuk akal, Jawen tersenyum dan menghubungi seseorang. Seseorang yang pasti bisa membantunya mengatasi masalah ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Lovely Fudanshi...t
Ficção AdolescenteKenalkan, Jawentari Mahendra Rahespati. Cosplayer paling mumpuni di sekolahnya. Anggota elite club khusus cosplay di sekolah. Suka hal-hal antimainstream. Kesukaannya akan hal-hal aneh masih menempati peringkat tertinggi. Dia bangga menyebut diri se...