3. Psychiatrist

393 71 9
                                    

Ayden menepikan mobilnya di pinggir jalan. Ia berteriak marah setelah mendengar Arsa yang selalu menjerit ingin turun dari mobilnya.

"Bisa diem nggak sih, lo?!"

Arsa menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. "Turunin gue! Turunin gue! Turunin Gue!" Napas Arsa naik turun. Seperti orang ketakutan.

"Gue nggak berniat membawa lo ke tempat yang akan membuat lo terancam, Sa." Ayden menatap Arsa yang enggan mengarahkan tatapan kepadanya. "Gue cuman mau bawa lo ke psikiater," katanya. Kemudian, Ayden kembali melajukan mobilnya.

"Nggak! Gue nggak mau!" Arsa masih berteriak histeris. "Turunin gue atau gue lompat?"

Ayden bergeming. Namun, diam-diam tangannya mengunci semua pintu mobil melalui tombol yang berada di samping kanannya. Hal itu semakin membuat Arsa frustasi.

Arsa menatap ke arah Ayden beberapa saat sebelum akhirnya mendaratkan sebuah gigitan kecil di lengan kiri laki-laki itu.

"Arghh...," jerit Ayden tertahan. Tidak habis pikir dengan perempuan di sampingnya ini. "Lo gila, hah?!"

"Berhentiin mobilnya sekarang atau gue gigit lagi?"

Ayden menepikan mobilnya. Membuka kunci mobil dan segera turun dari mobil. Arsa sempat tertegun. Namun, sebelum ia berniat untuk kabur, pintu mobil di sampingnya sudah terlebih dahulu dibuka oleh Ayden.

"Turun!"

Arsa tidak bodoh. Di sana. Tepat di depan mobil ini terparkir, terpampang jelas salah satu nama dokter psikiater. Tidak. Ia tidak mau masuk ke tempat seperti itu.

"Nggak mau!"

"Turun sendiri atau gue seret?"

Arsa memutar akal. Memikirkan cara agar ia bisa kabur dari situasi seperti ini. Kemudian, ia memutuska untuk turun dari mobil hitam itu. Berjalan pelan mengikuti Ayden yang membimbing jalannya. Dan ketika Ayden lengah, secepat mungkin ia berlari dari tempat itu. Membuat sebuah hembusan angin yang mampu menyadarkan Ayden akan kepergiannya.

"Sa!" Ayden menggeram kesal. Buru-buru ia berlari mengejar Arsa. Ada rasa khawatir mengingat gadis itu yang memang memiliki sedikit kelainan psikologis. Ia takut akan terjadi sesuatu yang tidak pernah ia duga terhadap gadis itu. Oh shit! Belum ada sehari ia mengenal Arsa. Tetapi, mengapa ia sudah merasa sepeduli ini?

Jalanan selalu ramai oleh kendaraan yang berlalu lalang. Matahari bersinar terik siang ini. Membuat dahinya tanpa diminta mengeluarkan beberapa bulir keringat. Ayden mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Gotcha! Ketemu.

Arsa, gadis itu kini sedang berjalan tak tentu arah di pinggir trotoar. Ia masih dibaluti oleh perasaan takut. Ditambah jalanan yang ramai semakin membuatnya gelisah ingin pergi ke arah mana. Ia mendekat ke zebra cross. Berniat ingin menyebrang jalan. Namun, karena ia yang memang sedang dalam kondisi kacau, ia tak sadar ada sebuah motor yang melaju kencang ke arahnya. Arsa terduduk lemas di aspal bersamaan dengan teriakan Ayden yang menggema di kepalanya.

"Arsa!"

Ayden berjongkok di depan Arsa yang kini sudah terduduk lemas di aspal dengan pandangan kosong. Tak butuh waktu lama, Ayden segera menggendong gadis itu menuju mobilnya. Mendudukan Arsa di kursi samping kemudi.

"Sa, lo nggak papa?" tanya Ayden khawatir setelah ia mendudukkan dirinya di kursi kemudi. Ia belum menyalakan mesin mobilnya.

Arsa, yang ditanya malah bergeming. Tangannya bergetar hebat. Ayden yang melihat itu jadi merasa bersalah. Seharusnya ia tidak memaksa Arsa untuk ke psikiater tadi.

"Sa," tangan Ayden kini menyentuh kedua tangan Arsa yang masih bergetar hebat. Ia memberikan beberapa usapan hangat. Bermaksud untuk menenangkan Arsa. "Gue minta maaf. Gue minta maaf karena udah memaksa lo dateng ke psikiater."

"Gue nggak tahu kalau lo akan setakut ini."

"Gue nggak mau kalau sampai dokter piskiater bilang kalau gue gila," lirih Arsa tiba-tiba. Setetes air matanya jatuh. Ia lama tak merasakan air asin ini membasahi pipinya lagi. Setiap ada masalah yang mampu membuatnya merasa tertekan, Arsa lebih memilih untuk menyakiti dirinya sebagai pengalih rasa sakit itu. Menangis tidak cukup untuk mengutarakan rasa sakit yang ia rasakan.

"Cukup gue aja yang ngerasain kalau gue memang punya gangguan mental. Jangan lagi ditambahin dengan diagnosa dokter yang membuat gue semakin merasa rendah."

Ayden terdiam. Ia kehabisan kata-katanya. Bahkan, tangannya berhenti mengusap-usap kedua tangan Arsa. "Gue bener-bener minta maaf. Gue nggak bermaksud untuk-"

"Lo udah tahu sekarang. Jadi, tolong jangan paksa gue untuk dateng ke tempat ini lagi."

Ayden mengangguk. Beberapa kali ia mengucapkan kata 'janji'. "Gue anter lo pulang ya? Kali ini gue serius bakal nganterin ke rumah lo."

Arsa mengangguk samar. Masih enggan menatap mata Ayden. Tak apa. Ayden rasa itu wajar. Kenyataan bahwa, Arsa memang tidak seperti kebanyakan orang, membuat Ayden memaklumi hal itu.

Jalanan Ibu Kota masih dan akan selalu ramai. Ayden membelokkan mobilnya memasuki salah satu perumahan di bilangan Jakarta Selatan. Beberapa menit lalu Arsa menunjukkan arah jalan ke rumahnya kepada Ayden.

Hingga akhirnya, di sinilah mereka sekarang. Di depan rumah bercat abu-abu dengan sebuah mobil sedan terparkir tepat di garasinya.

Ayden menoleh kepada Arsa, menanyakan apa benar ini rumah dari gadis berambut hitam kecoklatan itu. "Yang ini?"

Arsa mengangguk. Ia mengambil sebuah jaket dari dalam tasnya. Kemudian, memakainya sebelum ia keluar dari mobil. Ayden tahu, jika Arsa memakai jaketnya untuk menutupi bekas goresan silet di tangan kiri gadis itu.

"Buat nutupin bekas goresannya ya?" tanya Ayden sok menebak. Padahal iya tahu jika tebakan jelas benar.

"Iya." Dengan sedikit merapikan penampilannya, Arsa mencoba untuk terlihat biasa. "Di rumah, gue suka pakai lengan panjang, nggak selalu sih. Cuman pas ngebuat luka ginian aja."

Arsa baru akan membuka pintu mobil tatkala Ayden yang tiba-tiba memegang lengan kanannya. Hal itu sontak membuat Arsa menolehkan pandangannya kepada Ayden.

"Kalau lo punya masalah, cerita sama gue ya? Gue janji akan bantuin semampu gue. Gue janji bakalan selalu ada buat lo."

Arsa sempat tertegun. Kalimat terakhir Ayden membuatnya merasa dejavu. Seolah mengingatkannya kembali tentang kejadian masa lalunya. Ia benci dengan kalimat itu.

"Jangan pernah memberi janji yang lo sendiri aja nggak tahu bisa nepatin atau enggak." Arsa berucap serius. Bahkan, nadanya terkesan lebih dingin dari sebelumnya. "Karena ketika lo mengingkari janji itu, gue nggak akan pernah bisa bersikap sama seperti saat sebelum lo mengingkari janji itu. Gue akan berubah."

Ayden lagi-lagi bergeming. Arsa memang bukan seperti gadis kebanyakan. Yang diberi janji-janji manis akan meleleh atau sekadar merasa terenyuh. Arsa memilih untuk berpikir rasional ketika gadis lainnya tidak berpikir demikian.

"Gue akan buktiin kalau gue memang akan selalu ada buat lo."

-Wish to be Saved-

Wish to be Saved Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang