Arsa merapikan beberapa buku yang masih berserakan di meja. Kemudian, memasukkan satu per saru buku itu ke dalam tas ranselnya.
Tanda bel pulang sekolah sudah berdering sejak lima belas menit lalu, maka tidak heran jika hanya gadis itu yang berada di kelas saat ini.
Sambil menghitung berapa langkah yang ia ambil selama melangkah, gadis itu menyusuri koridor kelas sebelas sendirian.
Jangan tanya mengapa harus menghitungi berapa langkah yang telah ia ambil. Karena Arsa sendiri pun tidak tahu jawabannya. Hanya tindakan refleks ketika dirimu tidak tahu harus melakukan apa saat sedang sendirian.
Bermain hand phone? Sayang sekali baterai ponselnya telah habis.
Saat Arsa telah menginjakkan kakinya di luar area sekolah, ia melihat bus telah berhenti di halte seberang sana. Buru-buru ia berlari menyebrangi jalanan yang lumayan ramai.
Satu kata untuk siang ini.
Sial.
Semesta rupanya sedang tidak berpihak kepadanya kali ini. Bus yang Arsa lihat telah pergi beberapa saat sebelum gadis itu sampai di seberang jalan.
Apes banget hari ini.
Jika Arsa ingin naik bus lagi, ia harus menunggu lama mengingat tidak begitu banyak bus yang sejurusan dengan arah rumahnya. Sangat membosankan. Orangtuanya juga pasti tidak ada yang bisa menjemput di jam pulang sekolah seperti ini. Mereka masih sangat sibuk dengan urusan pekerjaan masing-masing. Apalagi, fakta bahwa Arsa adalah anak tunggal semakin menambah kenyataan bahwa tidak akan ada yang menjemputnya sekarang.
Jakarta disinari oleh cahaya matahari yang begitu terik siang ini. Kulit putih Arsa bahkan sudah terasa terbakar karena paparan sinar matahari yang dengan lancang menyentuhnya. Ia menghembuskan napas lelah.
Arsa bukanlah siswi populer yang mempunyai banyak teman di sekolahnya. Pada siapa kini ia harus meminta pertolongan di saat Bina—sahabat satu-satunya—telah pulang sesaat setelah bel pulang dibunyikan?
Bina selalu diantar jemput oleh sopir pribadinya. Tidak ada kata 'menunggu' bagi gadis itu. Apalagi menunggu jemputan.
Bina sebenarnya selalu memberi tawaran untuk pulang bersama kepada Arsa. Namun, Arsa selalu menolak. Ia lebih memilih untuk menggunakan bus, daripada harus merepotkan sahabatnya itu. Lagipula, arah menuju rumah Bina dan rumah Arsa berlawanan. Ia merasa tidak enak hati jika harus merepotkan orang lain—walaupun Bina adalah sahabatnya sendiri.
Sibuk termenung, Arsa tidak sadar jika sebuah motor kini berhenti tepat di depan halte ia menunggu bus. Motor sport berwarna hitam itu dikendarai oleh laki-laki berjaket denim dengan helm abu-abu yang menempel tepat di kepalanya.
Pengendara itu membuka helm. Ia tersenyum lebar ketika matanya berpandangan dengan Arsa yang sekarang sudah bangkit dari duduknya.
"Hai, Fiona!"
Ethan turun dari motor hitam itu. Kemudian, menghampiri Arsa yang sudah pucat pasi karena melihat keberadaannya.
Tangannya meraih lengan kanan Arsa. Menautkan jemarinya dengan jari-jari tangan kanan gadis itu. "Pulang sama aku, ya?" ajaknya lembut.
Arsa tak bergeming. Ia menghindari tatapan Ethan yang terus terarah kepadanya.
Rasanya menyakitkan bila menyadari bahwa hanya kamu yang merasa kacau di saat masa lalumu bahkan terlihat baik-baik saja.
Hal itu terdengar seperti ... pecundang.
"Fiona. Ayolah! Pulang sama aku, ya?" rayu Ethan lagi. Kali ini, ia bahkan sudah mendaratkan telapak tangannya untuk membelai lembut rambut hitam kecoklatan Arsa. "Ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Wish to be Saved
Misteri / Thriller(was Sadis) [maybe this story isn't suitable for under 15th years old] ••• Dia menyembunyikan semuanya. Melarang orang lain tahu siapa sebenarnya ia. Bergelut dengan luka. Bersenandung dengan rintihan. Bersahabat...