"Bina!" seru seorang siswa laki-laki ketika Bina lewat di hadapannya.
"Ya?" jawab Bina ramah sebelum menoleh kepada pemilik suara. Namun, ketika matanya malah menangkap sosok Grayhan di hadapannya, ia justru melengos.
"Nggak penting pasti," gumamnya pelan, lalu melanjutkan langkah.
"Hei!" seru laki-laki bernama lengkap Ganendra Rayhan itu tidak terima. "Tau gue yang manggil kok malah pergi gitu aja sih?"
"Apaan sih? Gue sibuk. Nggak ada waktu ngeladenin lo." Bina berjalan tergesa. Mengambil langkah lebar-lebar yang sialnya tetap mampu diimbangi oleh Grayhan.
"Cih, OSIS macam apa lo? Harusnya anggota OSIS tuh mengayomi dan ramah. Bukannya malah melengos nggak sopan gitu. Apalagi sama seniornya sendiri. Gue aduin ketos nih ya, biar lo dipecat dari kepengurusan OSIS."
"Mana bisa? Lo pikir lo siapa?" jawab Bina akhirnya menghentikan langkah.
"Lo lupa?" Grayhan tersenyum miring. "Gue mantan ketua OSIS di Cendrawasih. Pendapat gue jelas masih berpengaruh buat anggota OSIS angkatan lo."
Bina menatap tajam Grayhan.
"Oh, kalo yang ini pasti lo nggak lupa kan? Gue yang bantuin lo supaya bisa lolos seleksi OSIS tahun lalu. Atau mau gue perjelas lagi alesan gue bantuin lo itu karena apa? Ah, masa lupa sih." Grayhan tertawa sarkastik. Matanya menyiratkan pesan memperingatkan agar Bina lebih berhati-hati padanya.
"Waktu itu lo—"
"Cukup!" Bina menyentak kasar tangan Grayhan yang akan memegang lengannya. "Mau apa lo sekarang?" lirihnya kemudian. Hal itu sontak membuat Grayhan tersenyum lebih lebar di hadapannya—senyum miring, tentu saja.
"Hmm... Apa ya?" katanya sambil menampakkan raut kebingungan yang dibuat-buat. "Duh, kalo disuruh nyebutin gue jadi bingung nih. Kenapa nggak lo yang nawarin aja, kayak dulu?"
Gadis yang selalu menggunakan sepatu hitam itu menggertakkan giginya kuat. Jemarinya mengepal. Netranya menatap benci sekaligus nanar kepada laki-laki yang satu tahun lebih tua darinya itu.
"Kak,"
"Wow, udah berapa bulan, ya, lo nggak manggil gue dengan sebutan sesopan itu? Atau udah satu tahun?"
"Please... Gue mohon..."
"Tsk, kenapa pakai nangis segala? Kesannya kayak gue yang jahat di sini."
"Bina," ucap seseorang lain yang sedang menyaksikan mereka dari jarak lumayan dekat.
"A-Ayden?"
"Lhoh, kok lo nangis?" Ayden menatap bingung Bina yang kini tengah menyeka air matanya. Kemudian, pandangannya teralih pada laki-laki dengan bet kelas dua belas di samping gadis yang matanya masih memerah itu.
Bina bungkam. Sedang Grayhan justru gencar maju selangkah, lalu mendekatkan wajahnya di samping telinga gadis itu. "Urusan kita belum selesai. Dan kalau lo sampai cerita sama dia, gue akan pastiin semua orang benar-benar akan tau apa yang terjadi satu tahun lalu di antara kita," bisiknya, lantas melenggang pergi meninggalkan Bina yang terdiam mematung serta mengabaikan Ayden yang menatapnya bingung.
"Lucu. Semuanya berhubungan," gumamnya saat ia telah ditelan belokan koridor.
***
"Lo yakin lo nggak kenapa-kenapa?" tanya Ayden sambil berjalan ke salah satu meja kantin yang telah diisi Bina dan Arsa dengan tiga cup cokelat dingin di tangannya.
"Iya, gue nggak papa kok, Ayden."
"Cowok yang Ayden maksud tadi siapa sih, Bin?" sela Arsa sambil menyesap cokelatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wish to be Saved
Mistero / Thriller(was Sadis) [maybe this story isn't suitable for under 15th years old] ••• Dia menyembunyikan semuanya. Melarang orang lain tahu siapa sebenarnya ia. Bergelut dengan luka. Bersenandung dengan rintihan. Bersahabat...