9. We're just strangers

276 63 10
                                    

Mentari pagi mulai muncul dari ufuk timur. Namun, hangat sinarnya tidak mampu membuat perasaan laki-laki yang kini tengah berdiri di samping rumah bercat abu-abu itu tenang.

Ia masih sama seperti kemarin.
Gelisah karena rasa bersalahnya.

Sebuah penyesalan rupanya tidak mampu membuat hatinya kembali bersih. Seakan ada noda hitam yang mencemari kertas putih, begitu pun perasaannya sekarang.

Jika Arsa tak mau memaafkannya, maka tidak akan pernah tenang pula hatinya.

"Arsa ..." sapanya kala melihat sosok yang ia tunggu keluar dari gerbang bercat abu-abu itu.

Tidak ada jawaban. Gadis berlensa mata coklat itu tak mau mengeluarkan barang sepatah kata pun sebagai balasannya.

"Arsa, gue bisa jelasin. Soal yang kemarin gue nggak bermaksud. Gue ..."

Arsa tetap tidak mendengarkan penuturan laki-laki itu. Kakinya ia biarkan untuk melewati jalanan beraspal menuju halte dekat perumahannya. Mengabaikan Ayden yang berjalan cepat di sampingnya.

"Arsa, dengerin gue dulu, " Ayden masih mencoba untuk mengimbangi langkah gadis itu. "Gue bisa jelasin soal kemarin."

Arsa tetap tidak menggubris. Hal yang membuat Ayden semakin merasa bersalah akan sikapnya kemarin. Separah itukah penuturannya yang lepas kendali kemarin hingga membuat Arsa semarah ini dengannya?

"Arsa, please..." Kali ini Ayden berhasil meraih salah satu lengan Arsa. Ia bahkan berhasil membuat langkah gadis itu terhenti.

"APA?!"

"Gue minta maaf. Gue ngaku salah. Soal yang kemarin gue ... gue lepas kendali. Gue cuman khawatir, Sa. Gu—"

"Khawatir apa?!" Arsa menatap tepat di mata Ayden. Tatapannya masih sama seperti terakhir kali Ayden lihat. Sorot amarah dan rasa tidak terima masih terpancar jelas di sana. Lengannya yang digenggam Ayden pun ia lepaskan secara kasar.

"Lo," katanya menunjuk muka Ayden. "Nggak usah sok peduli sama gue! Lo dan Ethan sama aja. Kalian nggak pernah ngerti cara menghargai orang lain."

Arsa kembali melanjutkan langkahnya. Namun, belum sempat ia berjalan dua meter, Ayden lebih dahulu mencekal lengannya.

Kali ini, genggamannya pada lengan Arsa kuat. Tetapi tidak sampai membuat semburat warna merah di kulit pucat gadis itu.

Ia menggiring gadis itu secara paksa untuk masuk ke mobilnya.

Arsa berontak. Namun, dengan cepat Ayden kembali mengenggam sebelah tangan Arsa. Layaknya penjahat yang digiring ke mobil polisi, begitulah Arsa sekarang. Sekuat apa pun ia mencoba lepas dari genggaman laki-laki itu, sekeras apa pun ia berteriak, tenaga Ayden jauh lebih kuat darinya.

Ayden membuka pintu samping kemudi. Mendudukkan Arsa di jok depan, lantas menutup pintu dan menekan tombol lock yang berada pada kunci mobil di genggamannya.

Ia tahu, Arsa tidak akan diam saja setelah ia memaksanya untuk masuk ke dalam mobil.

Ayden berlari memutari kap mobilnya. Laki-laki itu lalu masuk dan kembali menekan tombol lock di pintu samping kanannya. Hal yang persis ia lakukan saat ingin mengantar Arsa ke psikiater kemarin lusa.

"Ayden jangan bikin gue semakin benci ya sama lo!" Arsa kembali berteriak marah. Ia bahkan sudah memukul-mukul bahu kiri Ayden.

"Sa, dengerin gue dulu!" ucap Ayden dengan nada tinggi. Sama seperti Arsa yang baru saja membentaknya.

Ayden menggenggengam kedua tangan Arsa yang sedari tadi memukul-mukul bahunya. Matanya menatap lurus mata Arsa. Berusaha meyakinkan gadis itu untuk benar-benar mau mendengar penjelasannya.

"Gue minta maaf,"

"Maaf apa?!"

"Sa!"

"Gue itu khawatir sama lo, Sa. Kemarin, saat gue berniat untuk nyamperin lo yang lagi nunggu bus di halte depan sekolah, gue tiba-tiba aja lihat si Cowok Psycho itu lebih dulu berhentiin motornya di depan halte yang lagi lo tempatin—gue khawatir dia bakal ngapa-ngapain lo lagi.

Dan nggak lama setelah itu, lo malah naik keboncengan motornya. Lo bahkan ngelingkarin lengan lo di perut dia." Ayden menarik napasnya. Lalu menghembuskannya secara perlahan. "Gue marah ngelihat itu, Sa. Gue takut lo kenapa-napa. Gue takut dia apa-apain lo lagi. Makanya, kemarin gue hilang kendali pas lo sampai rumah. Gue lihat lo senyum ke dia. Di saat gue ngekhawatirin lo abis-abisan, lo malah seneng-seneng sama dia. Maaf karena kemarin gue udah mikir gitu tanpa mau tau alasan lo sebenarnya."

Perlahan, cairan sebening kristal itu keluar dari pelupuk mata Arsa. Hanya setetes. Namun, mampu membuat aliran sungai yang tidak begitu deras terlihat jelas di pipinya. "Gue capek, Ay. Gue capek. Gue capek berusaha ngehindar terus dari Ethan. Gue capek harus cutting karena nggak tau mau membagi keluh kesah gue ini ke siapa. Gue capek. Gue capek, Ay," lirihnya kemudian.

"Gue nggak tau harus gimana lagi. Cuman itu satu-satunya cara biar gue nggak lagi capek. Dengan nurutin kemauan Ethan untuk pulang bareng dia, gue nggak harus capek untuk dapat perlakuan kasar dari dia. Ethan cuman akan berubah jadi monster dan bertindak kasar saat keinginannya nggak terpenuhi. Gue nurutin kemauan dia, sama dengan gue aman. Gue nggak akan cutting lagi.

Cuman itu. Cuman itu satu-satunya cara supaya gue terbebas dari ketakutan akan masa lalu gue sama Ethan—dengan bersama Ethan lagi."

Ayden menggeleng. "Nggak! Cara itu salah. Lo bisa lari ke gue kalau lo lagi butuh seorang teman sebagai tempat untuk ngeluarin semua keluh kesah lo—gue kan kemarin udah janji untuk selalu ada buat lo.

"Lo nggak boleh deket-deket sama Ethan. Dia psycho. Dia monster. Sekali jahat, dia tetap jahat, Sa. Lo nggak boleh balik sama dia lagi. Gue khawatir setiap ngeliat lo lagi sama dia."

"Lo nggak tahu Ethan, Ay. Dia nggak sejahat itu," balas Arsa yang entah sadar atau tidak seakan membela Ethan di hadapan Ayden. "Dia bisa jadi orang yang baik saat gue mau nurutin apa maunya. Dia bahkan bisa ngasih apa pun yang dia punya cuman buat gue. Apa pun. Bahkan nyawanya sekali pun. Asal gue ada dipihaknya, maka gue bisa ngerasain rasanya jadi ratunya."

Ayden menggeleng tak percaya. "Sa, lo ngomong apa sih?" Ia bingung dengan jalan pikiran gadis di hadapannya ini. "Gue nggak ngerti."

"Lo nggak perlu ngerti keadaan gue. Kita bahkan baru kenal dua hari yang lalu. We're just strangers to each other, right?"

Ayden bungkam. Kalimat terakhir Arsa benar-benar membuatnya merasa seperti dihantam oleh kenyataan pahit. "Lo cuman nganggep gue stranger, Sa?" gumamnya pelan.

"Shouldn't we?"

Ayden membuka lock pintu samping kemudinya. Ia lalu menoleh kepada Arsa. "Lo mau bareng gue sekalian atau naik bus?" tanyanya tiba-tiba mengalihkan—atau malah menghentikan—topik pembicaraan mereka.

Sorot matanya berubah. Air mukanya berubah. Bahkan, nada bicaranya pun ikut berubah; terdengar seperti ... sedang menahan kesedihan.

"Gue bisa naik bus sendiri, Ay." Arsa membuka pintu di sampingnya. Ia menginjakkan kakinya ke jalanan beraspal itu, kemudian kembali menoleh kepada Ayden. "Sebelumnya, makasih atas tawarannya. Makasih juga atas rasa khawatir lo itu ke gue. Gue cukup menghargai itu." Arsa menutup pintu mobil Ayden, lantas kembali membiarkan kakinya berjalan melintasi jalanan beraspal menuju halte yang menjadi tujuannya menunggu bus. Meninggalkan Ayden sendirian—lagi.

"Untuk sekarang, mungkin dia belom ngerti peran gue hadir di hidupnya itu apa." Ayden tersenyum kecut melihat kepergian Arsa dari mobilnya. Dadanya sudah terlampau sesak sejak saat Arsa menangis di hadapannya—terlebih penuturan gadis itu yang seakan membela Ethan dan mengatakan jika Ayden hanyalah orang asing dalam hidupnya.

"Well, Arsa. Tentang ucapan gue kemarin, gue tetap akan buktiin kalau gue memang akan selalu ada buat lo—sekalipun lo ngusir gue dari hadapan lo," monolognya sebelum melajukan mobilnya untuk memberi klakson pada Arsa yang kini sudah duduk di halte bus dan kembali melanjutkan perjalanannya menuju SMA Cendrawasih.

-Wish to be Saved-

A.n

Yeay! Cerita ini update lagi. Setelah berkutat dengan soal-soal USBN dan UNBK, akhirnya saya free...

Wish to be Saved Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang