Louis's POV
"Aku memberitahumu sebagai seorang teman. Kau idiot yg lembek."
Aku bermain dengan botol bir, menyadari cairan yg memabukkan itu mulai berkurang. Harapan yg akan diperoleh Niall itu langka. Ia penuh dengan mode pesona selagi mencoba berbicara dengan perempuan yg bertengger di dinding kanan kami dan gagal.
"Mengapa?" Harry tertawa.
"Apa kau memperhatikan dirimu belakangan ini? Kau berubah."
"Menurutku itu bukan hal buruk sih," balasnya, "Aku cukup menyukainya."
Ia melembutkan suaranya dan itu karenanya. Bo bermata-kecil.
"Kau menjadi aneh, bung. Tak akan ada yg suka padamu jika kau tetap melanjutkannya."
"Aku tak memaksa," ia hampir geram membela diri.
Aku memecahkan sebuah senyum saat kepalan solid menubruk bahuku.
Tanganku terpaut ke botol, menentukan untuk menyimpan alkohol yg tersisa sedikit.
Harry yg dulu masih tetap ada, mungkin terkubur dibawah hati lembek, pink serta bunga yang jelek. Tapi aku tak berpikir kalau ia dapat mengesampingkan hal itu, tidak dengan emosi yg mentah. Aku tahu apa yg terjadi di rumah itu saat kami kecil. Kau tak dapat dengan mudahnya mengubur seluruh memori tersebut, tak perduli betapa besar lubang atau cangkulnya.
"Aku belum kehilangan kemampuan ajaibku untuk menghantam wajahmu," lanjut Harry membantah.
Aku lupa betapa mudah untuk memutarnya. Ia tipe pria santai untuk diajak bicara, tapi Tuhan melarang kau untuk menghina bakatnya dalam satu pukulan saja dan kau akan terbaring di lantai dalam hitungan detik. Butuh waktu lebih lama untuk mereka bangun. Aku sudah melihatnya.
"Aku tak meragukannya," tawaku ringan.
Ia menolak bir yg ku tawarkan padanya. Dan saat aku kembali, semuanya sedikit teralihkan dan terayun. Aku dapat mengetahui Harry memperhatikannya. Aku sedikit bersandar, mengobservasi perhatian tak-terpesan yg diberikan pada perempuan yg terhuyung dengan waspada di sisi kolam. Ia tertawa saat Hayley memanggil dari bawah air, cipratan tak-terencana terbagi dengan candaan.
Itu mengejutkanku saat Bo terhuyung kecil membuat Harry meringis di kursinya, hampir seolah ia siap untuk meloncat pada penyadaran kedua. Bo mendapatkan kembali keseimbangannya (atau malah sebaliknya), kembali jatuh dengan pola menjinjit. Bo pasti merasakan perhatian Harry padanya, karena rambutnya menjentik dengan pergerakan yg ditujukan. Senyum kecil mengkonfirmasi bahwa ia baik-baik saja.
"Apa itu tadi?"
"Apanya?" Harry mendongak, mengikutiku seraya aku mengambil tempat duduk di sampingnya lagi.
Aku mengangguk ke arah Bo.
"Oh, Bo bukanlah perenang yg kuat. Aku hanya..tidak ingin ia terjatuh."
Ia menatapnya lagi. "Kita akan berenang nanti."
Lamunanku yg terproses disela.
"Oi, Haz!" seorang pria berteriak dari bawah rumah.
"Nailler!"
Ejekan terpinta Niall itu teralihkan dari perbincangan menghibur oleh penemuan baru teman perempuannya. Ia menjentikkan dua jari ke keningnya sebagai konfirmasi 'salut' sebelum mengucapkan selamat-tinggal dan bergabung dengan Harry dalam perjalanan ke atas.
Aku disuruh menjaga Bo. Agar ketika ia berkelana ke sekitar tempat duduk aku akan mengambil kesempatan untuk menanyakannya mengenai rencana masa depan, kemana ia akan melihat dirinya lima tahun lagi dan keinginannya mewaspadai Harry kecil (a/n : ini maksudnya anak mereka nanti ya ♡).
Dengan sopan, tentunya.
"Jadi, kau dengan Harry?" mulaiku.
Ia memilih tempat duduk di sebrangku dan di sebelah kiri, mengambil minum yg ia tinggalkan di meja kebun kecil di tengah.
"Ada apa memangnya?" ia tersenyum, sebelum gelas itu terangkat ke bibirnya.
"Apa kau ingin mempunyai anak darinya?"
Aku menyoraki diriku sendiri dalam hati karena terburu-buru, dalam situasi antara meneguk dan menelan. Cairan entah-apa yg tidak tersedak olehnya tersembur dalam batukkan. Ia mendapat poin karena terprojeksi.
"Aku-umm, terlalu awal untuk memikirkan demikian. Kita belum berpacaran selama itu."
Aku mengangkat bahu pada jawabannya.
Ia terlihat...perasa. Apa Harry seperti itu? Aku selalu mengimajinasikan dirinya bercumbu dengan tipe perempuan yg bertato, tindikan, tak-takut-untuk-memukul. Bo adalah tamengnya. Terkecuali ia memiliki semacam kreasi tinta nakal yg tersembunyi entah dimana hanya Harry yg pernah menjalajahinya. Aku keluar dari topik.
Ia berpindah di kursinya terlihat cukup tak-nyaman. Waktunya mengubah topik.
"Tapi apa kau ingin menikah?"
"Aku belum memikirkan itu. Aku ingin melihatnya memakai jas sih."
Posturnya berubah, sedikit membungkuk selagi mencocokkan pertanyaan selanjutku.
"Jadi, kau kerja apa?"
Aku meregangkan kakiku, menyilang pergelangan kaki seraya meneguk bir lagi.
Tersilang di pikiranku bahwa kemungkinan aku harus menstabilkan kadar alkoholku, tapi gambaran itu segera hilang dan kepalaku mulai terselami.
"Aku bekerja di toko kaset di tengah kota; kami menjual piringan vinyl kuno beserta barang baru."
Tak se-membosankan dugaanku sebelumnya, mungkin masih ada harapan untuknya.
"Dengan pria bernama Dan itu?"
Aku mengerutkan hidung jijik. Harry sudah lebih dari diam tentang perasaannya terhadap pria tersebut. Aku bahkan belum pernah bertemunya dan ia sudah terdengar seperti seorang bajingan.
"Dan temanku," balas Bo tegas.
Aku kesal. Memikirkan ingin menekan subjeknya lebih jauh lagi, tapi dari cara wajahnya mengeras aku tak ingin mengetahui kaitan topik itu.
"Apa kau kuliah?"
Membingungkanku saat mata dan sikapnya melembut, nada Bo merendah tampaknya diikuti oleh moodnya. Subjek menyentuh yg lain mungkin.
"Apa Harry sudah berbicara denganmu?"
Beberapa orang tambahan sudah bangkit, dan pergi ke semacam pria bodoh yg ditantang untuk menegak satu gelas alkohol lagi. Aku pernah mengambil kelas renang, memakai pelampung di kolam, tapi aku ragu kalau aku masih tak dapat mengalahkannya dengan situasiku sekarang. Kami berdua mengangguk bersamaan.
Alis Bo naik tersangga dan butuh waktu beberapa detik untuk melembutkan kembali percakapannya.
"Tentang apa?"
Ku rasa aku mulai mabuk.
"Oh, ku rasa tidak. Aku dapat membedakan bahwa ia tak terlalu bersikap keras jika aku kuliah, tapi aku ingin kursus menulis."
Hmm, masalah di sorga.
Setidaknya ia mempunyai rencana untuk pergi dari area ini. Tak banyak prospek bagi seseorang yg memiliki mimpi tinggi. Itu apa yg telah dilakukan diriku dan Harry, melarikan diri dari bayangan hantu menjulang di tetangga lama kami. Tak banyak juga hal yg terjadi pada kami berdua, tidak sekarang sih.
"Apa kerjamu, Louis?"
Aku berdeham, tak cukup siap untuk dirinya yg membalas perjuanganku mengenai pertanyaan masalah tersebut. Ini interogasiku, ia tak boleh dengan begitu saja memutar-balikkan keadaan. Tapi selagi kemabukan diriku yg berdampak terproges, tak banyak yg dapat ku lakukan untuk menjaga mulutku agar tetap diam.
"Aku bekerja untuk polisi," semburku.
"Polisi?"
Mengapa jawaban itu selalu menjinjing reaksi semacam demikian? Aku tak akan menyeretnya dengan borgol.
"Jangan terlihat gugup. Aku bukan polisi, aku mengerjakan datanya, lebih seperti pria berteknologi."
"Oh, jadi kau menyukai komputer?" Aku tidak cukup pandai."
Bo tersenyum, menyelipkan kaki di bawahnya, tubuh setengah-coklatnya menyerupai pretzel. Aku cukup lapar.
"Cukup mudah bekerja dengan seluruh temanku."
Aku tak dapat menyalahkan pertanyaan selanjutnya, aku juga memberikannya pertanyaan. Hampir secara naluriah.
"Mengapa memangnya?"
Kepalaku bingung oleh semua intruksi yg meneriakkan agar tetap diam, tetaplah tenang. Tapi tampaknya mulutku sedang tak ingin menjaga rahasia.
"Kau dapat memainkan data, menghapusnya, menambahkannya, mencari orang."
Oh sial.
Tanganku mengusap mulut besarku dramatis. Bo terkikik, terhibur oleh gestur tak-sengaja yg ku paksakan agar mencegah kalimat lain. Aku idiot.
"Tak seharusnya aku memberitahumu itu," tuturku putus-ada.
Botol itu terselinap dari jari kendurku, mengenkor ke lantai aspal dan berguling ke bawah kursi yg sedang diistirahati oleh bokongku.
"Aku tak akan memberitahu siapapun," kernyitnya.
"Aku bisa dipecat."
Dalam panik merona, aku tak menyadari perubahan posisi kami; tak lagi dipisahkan oleh meja kecil di antara kami. Bo duduk di kananku, tanganku tercengkeram dengannya.
"Tak apa, Louis. Aku tak akan memberitahu siapapun."
Suaranya menenangkan, dan kemilau di biru dalan matanya mengingatkanku kepada janji di antara dua anak kecil. Semacam penguncian menggunakan jari kelingking. Ia tak akan memberitahu siapapun. Mungkin itu mengapa Harry menyukainya. Ia mempercayainya. Dan dengan seluruh hal kacau yg ia alami, semua kebohongan dan rahasia yg ia kunci di hatinya, Harry butuh teman curhat. Dan itu adalah Bo.
"Kau aman, Bo," bersenda-gurau, menghargai.
"Baiklah astaga, terimakasih," ejeknya, melepas tanganku.Aku kembali berpaling ke sofa, lega karena pengakuan permainan busuk tak akan terlalu liar akibat tempat duduk yg hanya bermuatan dua-orang. Aku melawan persistensi sebuah kebutuhan kalimat untuk mengisi celah di antara perbincangan. Sebuah pertarungan yg menghilang drastis. Mungkin beberapa pengakuan tak menjadi masalah.
Bo's POV
Aku mengambil benang yg sudah mencuat dari sofa di bawahku, berhati-hati agar tak mengendurkannya. Tikungan tajam kepala Louis menyebabkanku bertemu garis pandang gemilaunya
"Aku sudah menenangkan sistem tubuhku untuk pacarmu."
"Harry? Hal macam apa?"
Aku tahu terkadang aksi Harry jauh dari tampilan malaikatnya. Meski senyum berlesung-pipit dan ciuman lembutnya, ada yg lebih dari si petinju bersarung itu.
"Sekarang, akan ku ceritakan," goda Louis. "pernah ada yang terjadi di mobil sih, tak menyebabkan banyak investigasi saat Harry sudah selesai. Di sekitar taman bunga."
Fiturnya menandakan nada humor, penasaran akan bagaimana reaksiku. Tak ada banyak kasus yg berkaitan dengan mobil belakangan ini, beberapa pencurian mobil, tapi tak ada yg besar.
"Apa yg terjadi?"
"Harry menahan suatu perdendaman," balasnya, "...dan sebuah korek."
Api?
"Tunggu, apakah itu...mobil yg ada di Taman Rose? Mereka menyuruh seseorang untuk menaruh pemukul bisbol lalu menyalakannya," aku mengingat-ingat sedikit ling-lung. "Apa itu, Harry?"
"Shhh." serigai Louis, mengangkat telunjuk ke bibirnya seperti bocah.
Aku melihat mobil itu. Temanku dan aku berjalan ke sekolah melewati taman saat polisi tinggi menjumpai kami dan melesatkan jalan kami. Ia belum bilang mengapa rutenya terbatas atau apa penyebab ketidak-nyamanan tersebut, tapi kenakalannya membusuk pada bocah seumuran itu. Kami sudah tertipu dengan pergerakan kami, menunggu sabar hingga polisi pergi untuk membuat sebuah pelarian ke pohon yg menjalar di samping jalan. Kami menemukan mobil yg terbakar, tak ada jendela, kap dan atapnya diukir spektakular. Kekacauan besar. Di koran beberapa saat setelahnya polisi mengakui sentimen yg tak dituntun pada suspek kriminal itu, tak ada pola tanda-tanda pelaku. Perusak dapat ditambahkan ke dalam daftar pembela Harry. Gambaran Harry kecil berjuang untuk mendapat perhatianku; wajah ternodai dengan bintik hitam, dada memberat selagi matanya menari dengan api yg membara di kulit mobil.
Di otakku, beban tubuhnya beristirahat dengan pemukul bisbol yg ia bantu untuk mencembungkan atap dan kap. Pria kecil malaikat yg bermasalah. Aku tak punya waktu untuk menanyakan Louis karena namaku diteriaki oleh suara tertekan.~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
KAMU SEDANG MEMBACA
Dark (Indonesian Translation)
FanfictionApa yang akan terjadi jika kegelapan bertemu dengan cahaya? ••••••••••••••••••••••••••••••• All credit goes to (han-rawr) on tumblr. Translator : etceteraa © Cover : etceteraa © {buku ini terjemahan indonesia dari buku yang aslinya}