Lalu apa yang harus kuceritakan pada sepi? Apakah penyebab kepergianmu? Atau aku yang enggan mencari penggantimu?
Sepi tak menuntut apa pun. Ia hanya tersenyum puas sebab perjumpaannya denganku, untuk yang kesekian kali. Ia mendekat lalu mencibir, kemudian tertawa terbahak-bahak melihat hatiku yang lagi-lagi hancur. Dan lagi-lagi kamulah penyebabnya.
Pada embusan-embusan kesunyian, aku merangkul erat luka yang masih melekat. Jangan pergi, gumamku. Sebab pergi hanya meninggalkan jejak-jejak kepahitan, dan berevolusi menjadi rindu penuh pengharapan.
Kita memang tidak lagi bersama, dan segala apa yang kita punya selalu berakhir dengan air mata. Jangan menangis, pintaku. Sebab bulir-bulir bening itu tidak pantas kau wujudkan sebagai bentuk ratapan kepada sesuatu yang telah hilang.
Dan esok, tetaplah berdiri tegak layaknya keegoisanmu yang membuat kita saling meninggalkan. Dan esok, tetaplah kuatkan hatimu, sebab tak akan lagi kau temui hati lembut yang mampu menerima kerasnya kemauanmu. Dan esok, kita bukan lagi 'kita'. 'Kita' hanyalah seorang kau dan aku, yang dilema atas takdir yang mengolok-olok dan mempermainkan perasaan kita.
Aku terlalu mencintaimu dengan dalam, itu salahnya. Padahal, kau hanya menginginkan aku sekadarnya.
Aku terlalu takut kehilangan, itu salahnya. Sampai akhirnya kau meninggalkan, dan aku melebur menjadi puing-puing yang terbang tanpa kepastian.
Uu Padilah.
Karawang, 19032018.
KAMU SEDANG MEMBACA
KATASTROFE
PoetryDi dunia yang kadang dianggap sebagai rumah sebuah ketidakadilan, siapa saja pasti akan mengalami perpisahan; dengan apa pun atau dengan siapa pun. Yang paling ditakutkan ketika hal itu terjadi, adalah besarnya luka kehilangan. Mungkin beberapa oran...