Untukmu, si Pemilik senyum pembawa luka.
Peduli apa lagi kau padaku? Untuk apa kembali menyapaku? Bukankah semua sudah mencapai akhir? Kita sama-sama terluka. Oh, tidak, hanya aku saja. Kau hanya berpura-pura agar semua tampak serupa.
Sekarang kupendam sendiri segala rasa, biarkan saja menjadi rahasia. Sekarang kusimpan baik-baik apa yang kita sebut sebagai luka, agar semesta menunjukkan kuasanya atas apa yang selama ini pernah kita sebut cinta.
Aku, biar saja terengah-engah melupakanmu. Aku, biar saja terbiasa tanpa kehadiranmu. Aku, biar saja jatuh berkali-kali asal bukan kau tujuan akhir pelabuhanku. Aku, biar saja mati asal tidak di sampingmu.
Dan senja ini berapi-api, membakar setiap canda yang pernah kita ciptakan. Angin mengembuskan luka, menghapuskan rasa-rasa yang tersisa.
Aku melangkah menjauhimu, padahal nyatanya itu tak perlu kulakukan, sebab kau sudah jauh berlari meninggalkan. Dan aku … merindukanmu.
Sebagai suatu hal yang wajar, setiap kehilangan akan mengundang tangisan. Lalu kau, menjalankan tugasmu dengan baik. Pergi tanpa pamit, mengikatkan aku pada batang luka paling pahit. Aku tersiksa berminggu-minggu, bersama perih ini aku terbelenggu.
Ketahuilah, aku pernah hampir menyerah karenamu, yang berhasil membunuh semua harapku.
Ketahuilah, aku hanya sisa langkah tanpa arah, yang berhasil teperdaya olehmu yang lupa setia.
Ketahuilah, aku bukan siapa-siapa lagi, yang berhak mengecupmu kala semesta beranjak pagi.
Uu Padilah.
Karawang, 24032018.
KAMU SEDANG MEMBACA
KATASTROFE
PoetryDi dunia yang kadang dianggap sebagai rumah sebuah ketidakadilan, siapa saja pasti akan mengalami perpisahan; dengan apa pun atau dengan siapa pun. Yang paling ditakutkan ketika hal itu terjadi, adalah besarnya luka kehilangan. Mungkin beberapa oran...