Tak pernah terbayangkan bahwa rumah yang biasanya sepi bisa lebih buruk lagi, rumah itu kehilangan nyawanya. Tidak hanya sepi, tetapi juga mati. Berhari-hari setelah kepergian ibunya, Ario masih tidak bisa tidur nyenyak. Bayangan ibunya tergantung di pintu kamar mandi, dan sayup alunan how deep is your love menghantuinya. Kadang saat terjaga. Lagu yang sebelumnya luar biasa menyenangkan di telinga menjelma lagu pemakaman yang menyedihkan, dingin seperti hujan tengah malam yang membasahi tubuh telanjang.
Ario berusaha bertahan menghadapi arus depresi yang terus merenggut semangat hidupnya, sebelumnya ia begitu yakin bahwa ibunya adalah akar dari penderitaannya. Kelalaiannya yang menewaskan Arlene adalah pusat dari penderitaan hidup yang ia terima dari sikap menutup diri ayahnya, kepergian ibunya membuat Ario memikirkan semuanya dari awal. Apakah ini memang salah ibunya atau memang salahnya sendiri.
Ibunya telah menanggung dosa yang tidak pernah ia lakukan, itu yang berulang kali berputar di kepala Ario. Dosa itu hanya ciptaan ia dan ayahnya untuk mencari kambing hitam atas ketakutan mereka menerima kenyataan. Kini Ibunya sudah pergi meninggalkan perasaan yang jauh lebih buruk dari sebelumnya, tinggal dua orang lelaki yang sama-sama terluka tanpa seseorang yang yang dapat menjembatani.
"Sebentar lagi Ujian Nasional, Papa gak ada saran jurusan yang cocok buatku?" Ario memberanikan diri untuk berbicara pada ayahnya, tidak ada pembicaraan di antara mereka semenjak hari pemakaman ibunya.
Ayahnya tidak menyahut, dengan tenang ia menyantap sarapannya seakan tidak ada Ario di depannya.
"Kata guruku aku bagus kalo masuk Sastra, soalnya pada dasarnya aku suka bahasa. Gimana menurut Papa."
Ayahnya melirik sekali, matanya nampak lelah. "Terserah kamu aja, masa depan kamu itu kamu sendiri yang menentukan. Papa gak bisa bantu apa-apa kecuali biaya, masalah itu Papa akan usahakan." Jawab Ayahnya.
Ario merasa belum puas, ia pun mencoba lagi. "Tapi aku butuh saran dari Papa, aku takut nanti salah jurusan."
"Terserah kamu aja, dengar gak sih!" tiba-tiba ayahnya menggebrak meja makan.
Ario terkejut lalu diam, jantungnya berdegup kencang.
Ayahnya menggeram lalu pergi meninggalkan Ario sendirian di meja makan, percakapan dengan ayahnya yang terjadi ternyata tidak berjalan baik. Dulu ibunya yang disalahkan atas kematian Arlene, kini giliran Ario yang akan disalahkan atas kematian ibunya. Ario tertawa geli ketika menyadari ternyata semua ini tidak lebih dari permainan kambing hitam ala pengecut yang tidak tahan didera kemalangan, Ario adalah salah satu dari pengecut itu. dengan sekali gebrak ia justru jadi kambing hitam.
Ario tidak bisa diam saja, ia harus melakukan sesuatu sebelum akhirnya tidak ada pilihan selain mengalungkan tambang yang digunakan ibunya untuk menggantung dirinya sendiri. kehancuran yang sudah sangat dekat harus segera disingkirkan, apa pun caranya. Berapa pun harganya.
Tawa Ario berhenti, ia mengeluarkan ponsel dari kantung celananya untuk menghubungi seseorang. Ia berbicara sebentar dengan seseorang, sekali dua kali ya tersenyum seperti orang yang kewarasannya sudah mulai surut. Di luar rumah mulai turun hujan, Ario tidak peduli. Ia menyambar tas dan kunci motor milik Genta yang belum juga ia kembalikan kepada pemiliknya, lagi pula Genta tidak pernah keberatan akan hal itu. Ario memacu mesin motor bertenaga 250cc hingga nyaris menyentuh batas maksimal, di tengah jalan hujan mulai turun dan membasahi seragam sekolah yang ia kenakan. Ia tidak peduli, lagi pula tujuan awalnya bukan ke sekolah.
Pintu berwarna cokelat terbuka, Ario berdiri di depan pintu. Tubuhnya basah kuyup, ia mengusap mata beberapa kali karena tetesan air dari rambut lepeknya mengacaukan matanya.
"Gue pikir lo gak bakal hubungin gue." Sinta berdiri di depan Ario penuh kemenangan.
"Keadaan aman gak?" tanya Ario, matanya melirik ke dalam kamar kos.
"Aman, kok. Sandi sekarang lagi sibuk ngurus art work buat Ginger dan baru ke sini nanti malam." Jawab Sinta sembari menyilangkan tangannya.
Hujan semakin lebat, gemuruh terdengar dari balik awan gelap di cakrawala yang muram. Suara berisik dari tetes hujan yang mengenai atap terdengar semakin keras, sepintas mirip permulaan dari badai dahsyat yang tidak lama lagi akan memporak-porandakan seluruh gedung kos hingga rata dengan tanah.
"Masuk dulu deh." Sinta memberikan jalan bagi Ario.
Sebelum masuk, Ario melepas sepatunya yang penuh dengan air terlebih dahulu. Ia membalikan sepasang sepatunya, air mengalir deras dari dalam sepatunya. "Sorry ubinnya jadi basah, nih."
Sinta menggeleng, "Gak apa-apa, biar nanti yang jaga kos yang bersihin. Lo masuk aja cepet keburu nanti ada yang liat."
Ario melesat masuk ke dalam kamar kos, setelah itu Sinta menutup pintu. "Nah, mending lo simpen aja sepatu basah lo di kamar mandi." Ucap Sinta. Ario membawa sepatu yang masih meneteskan air ke dalam kamar mandi, ia menyandarkan sepatunya di dinding kamar mandi. "Oh, iya-"
Sinta melemparkan sebuah celana dan kaus kepada Ario, dengan sigap Ario menangkapnya.
"Itu baju sama celananya Sandi, pasti pas sama lo. Pake aja, nanti lo malah sakit pake seragam basah begitu."
Ario tersenyum kemudian menutup pintu kamar mandi, di saat Ario mengganti seragamnya yang basah Sinta mengeluarkan sesuatu dari lemari dan menyusunnya di lantai. Ario agak kaget ketika keluar dari kamar mandi.
"Buat apaan barang itu?" tanya Ario.
Sinta menyeringai, "Ya buat ritual, emangnya buat apa lagi."

YOU ARE READING
Memento
Mystery / ThrillerHalo, Readers! Memento adalah cerita baru yang akan admin share ke kalian semuan di wattpad @kisahhorror, semoga kalian suka, dan kalo suka jangan lupa like, vote, comment, dan share ya. Sinopsis: Semenjak kematian adiknya, Arlene, Ario dan orang tu...