Bagian 13

56 2 3
                                    

Ario terbangun di kamarnya, tubuhnya terasa lelah seperti baru saja terbangun dari tidur yang gusar. Nyeri mencekit belakang lehernya hingga punggung, peluh mengucur dari balik bajunya yang lusuh. Ia mengucek matanya tidak percaya, apakah tadi itu yang namanya tergelincir di celah waktu? Ario meluruskan badannya, tangannya meremas-remas punggungnya. Segaris cahaya matahari melintasi celah tirai, debu-debu yang berterbangan di udara tampak jelas ketika melewati garis cahaya itu. Sayup terdengar kesibukan di luar sana, Ario enggan buru-buru keluar. Jangan bodoh, ini bisa saja tipuan.

Siapa yang tahu ke dunia mana ia terlempar sekarang.

Langkah kaki cepat datang ke arah kamarnya, Ario panik. Ingin lari pun, ia tidak tahu lewat mana. Lompat dari jendela satu-satunya pilihan, meski pun begitu ada keraguan yang menahannya. Keraguan itu mengatakan bahwa haram untuknya kabur sebelum mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, apakah mantra itu benar-benar berhasil atau tidak.

Pintu kamar terbuka, Ario terpekik. Tepat di ambang pintu Ibunya berdiri tidak sabar, bibirnya berdecak pelan. Antara kaget dan senang, Ario justru malah membeku di atas tempat tidurnya.

"Ya, ampun. Kamu itu, ya. Ini udah jam berapa? Mau sekolah gak, sih?! Mandi sana." Ujar Ibunya sembari memasang wajah jengkel.

"Jangan sampe Mama dateng kedua kali, ya. Kasian Papa sama Arlene udah nunggu di meja makan. Masa kalah sama Adik kamu."

Sosok itu pergi meninggalkan Ario yang tercengang, kepalanya mulai pening. Itu tadi adalah ibunya yang beberapa hari yang lalu bunuh diri, dan tadi ia berbicara apa? Arlene menunggu di meja makan? Jadi dunia macam apa sebenarnya ini. Sebelum ibunya pergi, Ario sempat mengintip kedua kaki ibunya. Hanya berjaga saja, apakah itu benar ibunya atau makhluk jadi-jadian.

Masih dengan perasaan bingung, Ario mandi dan berganti pakaian seperti apa yang diperintahkan sosok ibunya. Sejauh ini tidak ada yang aneh, ia mandi dengan air sungguhan, seragam sekolahnya pun nyata. Ario keluar dari kamar dan menemukan meja makan riuh oleh ocehan Arlene. Orangtuanya jadi pendengar yang baik, hampir saja Ario menangis karena begitu bahagianya.

"Kamu kenapa, Ario?" tanya Ibunya.

"Eh, emangnya kenapa?" balas Ario sambil menarik kursi.

"Mata kamu berkaca-kaca gitu, kayak mau nangis." Ibunya melongok langsung ke wajahnya.

Ario malu, "Gak apa-apa kok, Ma. Mungkin karena baru bangun jadi kayak gini."

"Kebanyakan begadang, tuh." Ayahnya menyelak.

"Iya, Kak Ario begadang mulu. Kebanyakan nongkrong sama temen-temennya itu, Pa. Giliran aku aja jarang diajak main." Arlene berkata semangat.

Suara Arlene terdengar seperti suara yang sering ia dengar di dalam mimpi, kadang ketika ia sedang merindukan Arlene, Ario kerap bermimpi tentang Arlene. Adegan di dalam mimpinya selalu berisi percakapannya dengan Arlene, percakapan itu tidak terlalu jelas tapi Ario mengerti. Ketika terbangun percakapan itu pun pudar dari ingatannya. Ario memperhatikan betul sosok Arlene yang ada sedang makan di meja makan, ia bukan sosok gadis kecil lagi melainkan gadis yang sedang beranjak remaja. Seragam SMU yang ia kenakan tersetrika rapi lengkap dengan tanda pengenal yang dijahit sendiri, walau pun berbeda usia, Arlene yang ia lihat memiliki kemiripan wajah yang akurat dengan Arlene kecil.

Hanya saja lekukan kanak-kanak di wajahnya sudah digantikan oleh rahang yang menegas, wajah bulatnya berubah menjadi oval. Dalam banyak hal tidak ada perbedaan antara Arlene besar dan kecil, hati Ario juga setuju seratus persen akan itu. Gadis itu adalah Arlene yang sudah tumbuh dewasa, jadi ia tidak meninggal terseret arus.

"Tuh, denger adik kamu. Ajak jalan-jalan dong, jangan sibuk sama temen terus." Ayahnya berkata, sedikit menyindir.

Ario tersadar dari lamunannya, "Iya, Pa."

"Sudah-sudah, lebih baik dihabiskan aja sarapannya keburu siang." Ibunya melerai.

Sarapan yang riang gembira pun berlangsung kembali, agak janggal awalnya tetapi Ario terbiasa. "Mantra itu berhasil, semuanya berubah." Bisik Ario kepada dirinya sendiri. Selesai sarapan, Ario dan Arlene diantar oleh ayahnya pergi ke sekolah. Semua berjalan seperti biasanya, sedapat mungkin Ario bersikap sewajarnya.

Pikiran Ario melambung ke mana-mana ketika berjalan di lorong sekolah, satu pertanyaan yang begitu mengganggunya. "Bagaimana bisa Arlene selamat hari itu, apa yang terjadi sebenarnya." Ario berbicara seakan-akan ada seseorang berjalan di sampingnya yang siap menjawab pertanyaannya.

"Gue harus cari tau, nih." Gumamnya ketika masuk ke dalam kelas.

"Nah, ini dia orangnya baru dateng."

Genta menghampiri Ario yang baru saja datang, ia hanya membalas Genta dengan lambaian tangan. "Kerjain tugas Fisika gue dong, please." Pinta Genta tanpa malu.

"Hah? Tugas Fisika?" Ario berhenti sejenak, "Sejak kapan gue jago Fisika."

Genta tertawa sambil menepuk-nepuk pundak Ario, "Ah, lo masih aja sok rendah diri. Siapa sih yang gak kenal Ario, anak berotak encer yang paling disegani sama anak-anak IPA."

Ario malah tambah bingung.

"Ini kelas IPA? Kayaknya kita salah masuk, deh. Kita kan anak IPS."

Genta geleng-geleng kepala.

"Lo on drugs, ya? Jelas-jelas kita anak IPA, elo sendiri yang maksa gue untuk ikut masuk IPA pake iming-iming mau bantuin kalo ada tugas yang susah."

"Iya, ya?"

"Iya, lah. Lo ngomong sendiri, kok. Lo pake ngutip omongan bokap lo kalo Fisika, Kimia, sama Biologi itu gampang asal kita mau belajar. Ya sebenernya nilai gue di pelajaran itu menyendihkan, tapi karena gue teman yang baik ya gue ikut aja."

"Sekarang lo harus kerjain tugas Fisika, gue!" desak Genta.

Sinta tidak pernah menjelaskan jika akan ada perubahan besar-besaran seperti ini, Ario jadi takut dengan apa yang terjadi selanjutnya. Jangan bilang kalo Ario adalah ketua OSIS.

Ario duduk dengan tenang, ia berusaha memusatkan pikirannya ke lima butir soal fisika yang ditulis di atas buku tulis milik Genta. Anehnya, soal-soal itu sangat familier baginya. Otaknya dapat memproses dengan cepat soal itu seperti menjawab soal satu ditambah satu sama dengan dua, saking cepatnya berpikir, jawaban akan semua soal seakan sudah tertulis dengan tinta tembus pandang. Ario tinggal menyalinnya saja.

Tidak sampai lima menit kelima soal itu selesai. Genta bersorak kegirangan. "Nah, gitu dong. Baru temen gue." Ia berkata, wajahnya nampak sumringah.

Dibalik semua itu, Ario hanya bisa diam. Ia tidak tahu apa yang barusan ia lakukan, dan kenapa ia jadi begitu mahir menjawab soal Fisika yang dulu menjadi mimpi buruk baginya. Di samping itu, pertanyaan yang lebih besar lagi. Bagaimana bisa ia masuk IPA?

Ario menghabiskan sisa pagi itu dengan merenungkan semua yang terjadi padanya, awalnya ia berada di kamar kos bersama gadis dengan ide agak sarap, kemudian kamar itu diluluh lantakan oleh angin topan lokal hingga membentuk sebuah lubang yang semakin lama semakin besar dan menelannya bulat-bulat. Ario pikir itu adalah bagian terburuknya, ia salah besar. Setelah serangkaian kejadian itu ia harus kembali dikejutkan oleh hidupnya yang jungkir balik, entah ini bagus atau buruk.

Semoga saja ini baik.    

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 13, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

MementoWhere stories live. Discover now