Bagian 12-2

39 2 2
                                    


Ario duduk di depan Sinta, ia memandangi aneh ke arah peralatan yang sedang disusun Sinta. Ada sebatang lilin putih ukuran besar, mangkuk almunium berukuran sedang, sebuah tinta hitam, dan jarum pentul. Sesungguhnya ia tidak nyaman melihat peralatan itu, mereka seperti hendak melakukan ritual pemujaan iblis. Pada titik ini kesadaran penuh Ario mulai berontak dengan menggemakan suara-suara bahwa apa yang akan dilakukan Ario adalah hal yang bodoh dan mungkin berbahaya, gema itu segera dibungkam oleh suara lain di dalam kepala Ario.

Persetan dengan akal sehat, lo mau mengubah semuanya, kan? Jangan jadi banci.

"Siap?" Sinta menatap Ario dalam-dalam.

"Siap."

Sinta mulai menyalakan sebatang lilin putih besar, kemudian ia bangun untuk mematikan lampu dan mengambil buku mantra yang akan menjadi penuntun ritual mereka. Kamar itu hampir gelap gulita, cahaya lilin yang tidak seberapa terang menjadi satu-satunya sumber cahaya bagi mereka. Hanya ada suara hujan dan gemuruh yang berganti petir yang menyambar-nyambar di langit menemani mereka, Sinta kembali duduk di depan Ario. Ia mulai menjelaskan ritual yang akan mereka jalani.

"Gue akan mengisi mangkuk dengan air dan tiga tetes tinta, kita akan sama-sama liat bagaimana tinta hitam menyebar di dalam air seperti gelap yang merambah di dalam terang. Tugas lo selanjutnya adalah menusuk ujung jari dengan jarum ini, gue perlu tiga tetes darah lo di dalam mangkuk supaya mantranya bisa bekerja." Sinta berkata kepada Ario dengan sangat jelas.

Ario mengangguk.

Sinta mulai mengisi mangkuk dengan air, seperti apa yang ia katakan ia meneteskan tinta hitam ke air di dalam mangkuk. Tinta hitam menyebar cepat di dalam air seperti penari bergaun hitam yang meliuk-liuk di dalam air yang tenang, ia memberi aba-aba kepada Ario untuk melakukan bagiannya. Ario mengambil jarum lalu menusuk ujung jarinya, ia meringis sedikit. Darah mulai mengalir keluar dari ujung jarinya, semakin lama semakin banyak. Ia meletakan jarinya tepat di atas mangkuk, tetesan darahnya mulai mengenai air. Bercampur cepat bersama tinta hitam. Sedetik kemudian Sinta mulai membaca mantra yang menjadi kunci terciptanya gelap yang sesungguhnya di dunia.

inuitamus tenebris cum nobis

nostris quodammodo uniri animae aquilum

tenebrosum erunt tempora rotate

Secundum tempus et secundum voluntatem fit tenebris retro

Sinta mengulanginya sampai tiga kali, pertama dengan tenang, kedua dengan lantang, dan ketiga dengan segenap jiwanya. Petir menggila di luar dan menyambar apa saja yang menghalanginya, langit seakan-akan robek oleh suara yang sangat keras. Ario menutupi telinganya karena suara dari langit itu menyakitkan bagi telinganya, ia masih berpikir bahwa percaya kepada Sinta adalah hal terbodoh. Ia buru-buru menarik kembali pikiran itu, apa yang dikatakan Sinta benar-benar terjadi. suara keras dari langit menggelegar ke mana-mana, petir yang menyambar di luar hanya sebuah awal.

Tanpa pernah ia perkirakan sebelumnya angin kencang mulai terbentuk di dalam kamar, kertas-kertas mulai berterbangan tak terkendali. Begitu juga rambut Sinta yang panjang, Ario menarik tangan Sinta agar tidak tersapu angin yang semakin kuat. Barang-barang di sekitar mereka mulai terangkat, lantai mulai bergerak, perabota mulai jatuh.

"Pegangan yang kenceng." Teriak Sinta.

"Ini bener-bener gila." Sahut Ario.

"Tapi beneran terjadi, kan?" sempat-sempatnya Sinta menyunggingkan senyuman padahal mereka bisa saja terlembar keluar saat itu juga.

Sebuah lubang mulai terbentuk di atas kepala Ario, awalnya lubang itu hanya seukuran bola tenis kemudian membesar dengan cepat hingga menyamai bola basket. "Liat." Sinta menunjuk lubang itu, Ario menengadahkan kepala lalu terkejut setengah mati. "Apaan itu?" teriaknya. "Itu jalan lo ke arah kebahagiaan." Jawab Sinta yakin.

Lubang itu masih terus membesar seperti mulut ular yang membesar ketika akan menelan bulat-bulat mangsanya, tidak butuh waktu lama untuk lubang itu menyamai ukuran badan Ario. Tubuh Ario mulai terhisap ke dalamnya, ia tampak ketakutan. "Jangan takut, ikutin aja." Sinta melepaskan tangan Ario.

Ario panik, ia berusaha menangkap kembali tangan Sinta tapi langsung dicegah oleh Sinta. Tanpa pegangan di tengah kamar yang diobrak-abrik oleh angin yang tak jelas asalnya dari mana membuat Ario tidak punya pilihan lain kecuali pasrah ketika tubuhnya terhisap masuk ke dalam lubang ajaib yang terbentuk lima detik yang lalu.

Ario terhisap dengan begitu mudah dan cepat, sosok Sinta hilang dari pandangannya. Begitu juga suara embusan angin kencang di dalam kamar juga suara keras dari langit yang memekakan telinganya.

Ario melayang-layang di tengah dunia yang gelap dan sunyi, suara yang terdengar olehnya sekarang adalah suara napasnya sendiri. ingin rasanya Ario menangisi perbuatan bodohnya, sayangnya tidak ada lagi waktu untuk itu. ia harus mempersiapkan diri untuk segala kemungkinan yang akan terjadi selanjutnya, ia harus mengukuhkan keberaniannya akan dunia macam apa yang menunggunya di depan sana.

Ario memejamkan matanyadan membiarkan dirinya melayang-layang, apa yang terjadi, terjadilah.    

MementoWhere stories live. Discover now