Suara teriakan terdengar dari dalam sebuah rumah, disusul hingar bingar barang berjatuhan. Rumah mungil bergarasi dengan halaman hijau kecil tidak dapat menahan dentuman emosi di dalamnya. Dua mobil city car berwarna ada di sana; satu di garasi satu di jalan, di belakang garasi terdapat pintu berwarna cokelat terang. Pagar besi berbentuk prisai berwarna hijau melindungi rumah, memberi batas antara jalan dan pekarangan rumah.
Rumah itu menyimpan rahasia yang tidak ingin siapapun ketahui, rahasia tentang kekerasan yang telah berlangsung bertahun-tahun. Pintu dua kusen itu tidak tertutup sempurna, ada sedikit celah antara keduanya. Ada kesempatan untuk mengintip apa yang sedang terjadi di dalam, perang macam apa yang berlangsung di dalam hingga menghasilkan suara sebingar itu. Tidak seorang pun yang tertarik pada perang yang sedang terjadi, pertunjukan ini tanpa penonton. Mungkin para penonton sudah cukup sibuk dengan sadiwara masing-masing, tiap-tiap orang punya pergelutan mereka sendiri. Tidak ada waktu untuk mencampuri milik orang lain.
"Sudah Papa bilang kalo bikin kopi jangan pake gula biasa, Papa ini Diabetes. Sudah puluhan tahun berumahtangga Mama masih sembrono untuk hal besar seperti ini."
Pria paruh baya tengah berbicara kasar kepada istrinya yang berdiri dengan kepala tertunduk, ia pasrah sambil menangis diam-diam.
Ia masih terlihat cantik walaupun sudah tidak muda, hanya jiwanya kosong. Tidak ada percik kehidupan, tidak ada hati yang bergembira, hanya ada kenihilan. Ia seperti tersesat di dunia antah berantah, suatu tempat di masa lalu yang merantai kakinya hingga tidak bisa maju ke masa depan. Anting yang bergelantungan di telinga dan pemulas bibir berwarna cerah membuat kerutan di wajahnya seperti sebuah ilusi.
"Maaf Pa, Mama salah. Nanti mama ganti sama yang baru." Raut wajahnya tampak tegang, suaranya pun parau. Tersendat.
Ia berusaha keras menahan dirinya untuk tidak hilang kendali, namun tetap saja ia tidak dapat menahan tetesan air mata yang menyelinap melalui celah-celah matanya. Ia menunduk untuk membereskan serpihan cangkir yang berserakan di lantai, tangannya berubah jadi hitam saat menyentuh ampas kopi yang tergenang dekat serpihan cangkir.
"Mama bisa gak sekali aja, sekali aja, melakukan hal yang benar. Mama mau membunuh Papa pelan-pelan? Begitu?" pria itu mencerocos.
"Emang Arlene gak cukup buat Mama sampe-sampe sekarang Mama mau membunuh Papa juga?"
Air mata istrinya benar-benar tidak bisa dibendung, mengalir deras seiring dengan kalimat yang dilontarkan suaminya, tiap kata meluncur seperti bola salju. Tidak terkendali. Ia menangis tersedu-sedu.
"Bangsat," suaminya mengumpat dengan nada tertahan.
Suaminya mengayunkan tangannya hingga hampir saja menampar istrinya yang tengah berlutut di depannya, alih-alih menampar istrinya, telapak tangan suaminya malah membentur sebuah bingkai yang berdiri di atas meja kecil. Bingkai itu berdiri dekat sebuah guci krem berukiran naga. Bingkai itu jatuh, kacanya pecah. Pria itu menghentikan aksinya.
"Kalo begini terus Mama pergi aja dari rumah ini, dengan sangat senang hati Papa akan menandatangani surat cerai."
Pria itu sudah tidak dapat menahan emosinya, ia lalu pergi meninggalkan istrinya. Dengan napas yang tersedak-sedak, istrinya memungut bingkai dari lantai. ada sebuah foto di dalam bingkai, ia membersihkan sisa pecahan kaca yang menutupi foto itu.
Di dalam foto itu keluarga kecilnya kelihatan sangat bahagia, keindahan pantai Kuta terbentang di belakang mereka. Foto itu diambil saat mereka sedang liburan keluarga. Suaminya berdiri di tengah-tengah, ia dan kedua anak mereka memeluknya dari samping. Suaminya mengenakan kemeja putih bergaris hitam, dan sebuah kaca mata hitam. Ia mengenakan kaus putih bertuliskan Bali.
Anak laki-laki berumur delapan tahun yang mengenakan celana pendek berwarna biru berdiri di sisinya, ia bertelanjang dada. Disebelahnya berdiri anak perempuan berumur enam tahun berdiri berdempetan, ia mengenakan pakaian renang. Topi coklat besar bertengger di kepalanya, topi itu seperti terlalu besar untuknya. Rambut yang diikat ke belakang dan wajah polos yang dihiasi senyum ceria tertangkap jelas oleh kamera, ia juga mengenakan kacamata hitam yang sekali lagi terlalu besar. Hingga membuat kacamata itu melorot. Ledakan tawa anak perempuan di dalam foto kembali terdengar seakan-akan waktu berjalan mundur kembali ke masa itu.
"Pos!"
Suara seseorang mengejutkan perempuan itu, ia menyeka air mata lalu beranjak ke luar. Seorang petugas pos berdiri di balik pagar rumah, pria muda berseragam jingga tersenyum saat melihat ia keluar dari pintu depan.
"Selamat sore, Bu. Ini ada surat untuk Bapak Tirta Sadira dan Ibu Rahayu." Petugas pos itu memberikan beberapa lembar amplop cokelat besar.
"Silahkan tanda tangan Bu, untuk tanda terima." Pria muda itu memberikan selembar kertas, dan sebuah pulpen. ia mengambilnya, membubuhi tanda tangan, dan mengembalikan kertas itu lagi. Di bawah tanda tangannya, ia menuliskan namanya. Rahayu Wardoyo.
Petugas pos itu pergi setelah menerima tanda terima yang sudah ditanda tangani. Sepeninggal petugas pos, Rahayu menyortir surat-surat yang masuk dalam perjalanan masuk ke dalam rumah, kebanyakan surat itu untuk suaminya. Hanya ada sebuah surat yang ditujukan untuk dirinya, ia memisahkan surat itu. Ia letakan sisanya di atas meja ruang tamu, tempat biasa ia meletakan surat-surat untuk suaminya. Memberikan surat itu langsung adalah tindakan bodoh. Seketika ia berhenti di ruang tamu, ia melirik ke jam dinding. Sudah pukul 3 sore, ia sepertinya mengingat sesuatu. Ia bergegas membereskan serpihan cangkir, dan kaca yang berserakan di lantai. Mbok Ismah, pembantu keluarga Tirto, menghampirinya.
"Sudah Bu, biar Mbok saja yang mberesi." Ia menatap majikannya beberapa detik, tatapannya cukup dalam. Sepertinya mbok Ismah tahu sekali apa yang terjadi, ia sudah bekerja dengan keluarga ini semenjak anak pertama Tirta lahir.
"Makasih ya. Mbok." Ucap Rahayu sepenuh hati. ia pergi ke kamar, beberapa menit kemudian ia keluar dengan kunci mobil di tangannya dan sebuah tas kecil. Rahayu pergi ke pintu depan, lalu masuk ke dalam mobil. Ia menyalakan mesin mobil, suara deru mesin mobil terdengar cukup keras. Mbok Ismah membukakan pintu pagar, city car hitam keluar perlahan-lahan.
"Telat lagi." Rahayu memaki dirinya sendiri. "Sepertinya aku memang ibu yang gak becus. Gak mampu ngurus keluarga, lalai, dan bodoh. Semua ini memang salahku, perempuan macam apa aku. Aku memang patut dikasihani." Tatapan Rahayu menerawang ke depan, sedangkan tangannya berada di stir.
"Aku memang tidak berguna.Tidak berguna sama sekali."

YOU ARE READING
Memento
Mystery / ThrillerHalo, Readers! Memento adalah cerita baru yang akan admin share ke kalian semuan di wattpad @kisahhorror, semoga kalian suka, dan kalo suka jangan lupa like, vote, comment, dan share ya. Sinopsis: Semenjak kematian adiknya, Arlene, Ario dan orang tu...