Selepas penampilan Ginger di Rossi, Ario dan Genta tidak langsung pulang. Genta menghentikan mobilnya ke pinggiran jalan Fatmawati, tepat di dekat warung lesehan. Genta mematikan mesin lalu melirik ke arah Ario, "Pesen apa?"
Ario berpikir sebentar lalu menjawab, "Jahe hangat aja."
Genta tidak langsung melepaskan tatapannya terhadap Ario, ia memicingkan mata.
"Emang lo gak laper apa?"
Ario menggeleng tanpa merubah rona wajahnya, Genta melenguh panjang lalu berjalan dari mobil menuju gerobak lesehan untuk memesan sesuatu untuk menanggulangi perutnya yang lapar. Waktu yang sempit ditambah kucing-kucingan dengan ibunya membuat Genta tidak sempat makan apa-apa, setelah itu pun ia harus bermain tiga lagu hampir tanpa jeda. Genta kembali dengan sepiring nasi kucing dan segelas teh hangat, ia sengaja membuka bagasi mobilnya. Masih ada tempat untuk mereka duduk di belakang sana, peralatan tempur Genta kebanyakan menumpuk di bagian tengah mobil.
Genta memberi aba-aba kepada Ario untuk keluar dari mobil, dan ia pun mengikutinya. Mereka berdua duduk di bagasi sempit mobil Genta. di depan mereka jalan tampak sepi, lampu jalan membuat jalanan berpendar jingga. Sembari makan, Genta tidak hentinya mencuri pandang ke arah Ario, ia tahu ada keresahan di dalam diri Ario dan belum hilang semenjak ia menjemputnya tadi.
"Lo bisa jujur sekarang." Genta meletakan piring kecilnya di samping dan mulai menyesap teh manis hangatnya.
"Hah?" Ario keheranan.
"Udahlah, kita udah temenan lama dan gue tau persis ada sesuatu yang menganggu lo dari tadi. Makanya elo sekarang jujur aja sama gue." Hati-hati Genta meletakan gelas teh manisnya.
"Enggak ada apa-apa, kok. Lo tenang aja." Ario mengelak.
"Sekali lagi lo bilang gak apa-apa gue tinggalin lo sendirian di sini, silakan pulang jalan kaki." Genta mengancam.
Ario menarik napas lalu mengembuskannya diam-diam, ia memilah-milah kata dan dari mana ia harus memulai. "Lo pasti udah tau sebelum gue cerita, gue aja sampe bosen ceritainnya." Bahu Ario merosot. "Masalah sama bokap nyokap lo lagi ya? Mereka masih ribut-ribut?" tanya Genta. Ario memandang jauh ke ujung jalan yang terlihat samar-samar, "Gitulah."
"Emang sampe sekarang gak ada solusi buat permasalahan keluarga lo?" Genta menyuap sesendok nasi ke mulutnya lalu diam mengunyah. Di belakang mereka berdendang pelan carry on my wayward son.
"Mungkin ada, tapi gue gak berani membayangkannya. Firasat gue bilang kalo solusi itu gak mudah buat gue ataupun mereka." Ario berkata, matanya kosong.
"Lo taulah, semenjak kematian Arlene keluarga gue hancur berantakan. Kadang gue ngerasa tinggal ngitung hari aja sampai semuanya berakhir, orangtua gue udah gak saling kenal. Satu-satunya yang bikin mereka tinggal satu atap adalah pernikahan mereka, dan gue. Mereka pribadi udah lama pisah." Ario melanjutkan, suaranya mengambang di udara.
"Kalo gue pikir-pikir sebenernya gak adil juga kalo lo dan bokap lo menyalahkan nyokap lo sepenuhnya atas kematian Arlene. Gue yakin gak ada satu pun dari kalian yang menginginkan semua ini terjadi." Genta menimpali.
Ario tertawa kecil, "Kalo aja dia gak lalai jagain Arlene hari itu, adik perempuan gue itu mungkin gak akan tenggelam terseret ombak. Bokap gue udah bilang berulang kali ke nyokap untuk jaga Arlene sementara dia ngajak gue ke kamar ganti yang ada di pinggir pantai, nyatanya dia gak sadar Arlene lari ke arah laut sampe akhirnya terseret. Butuh hampir lima jam buat menemukan jasad Arlene, dia ditemukan di dasar laut." Ario memejamkan mata, seakan-akan kejadian itu terjadi di depan matanya.
"Tapikan lo dan bokap lo gak liat langsung, lo gak pernah tau apa yang terjadi sebenarnya. Apa lo udah nanya langsung apa yang terjadi saat itu?" Genta membalas, ia menyuapi lagi mulutnya.
"Gak perlu, gak ada yang bisa merubah apa yang terjadi. intinya Arlene meninggal gara-gara kelalaian nyokap gue." Ario bersikeras.
Genta agak kecewa dengan sikap keras kepala Ario, tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia tidak ingin membuat keadaan menjadi tidak enak, tujuan awalnya adalah membantu Ario untuk dapat menyingkirkan keresahannya. Mereka diam sampai seorang pria datang dan memberikan segelas jahe hangat kepada Ario, ia menerimanya lalu mengucapkan terima kasih. "Minum deh jahenya, ntar lo masuk angin gue ribet lagi." Ceracau Genta.
"Lo mesti ngerokin gue." Tukas Ario sebelum meminum jahe hangatnya.
"Najis." Sela Genta kesal.
Ario hampir saja menyembur jahe yang baru saja ia minum.
Mereka berdua kemudian saling diam, sama-sama menatap jalanan di depan mereka yang lurus dan seakan tanpa ujung. Di umur mereka yang masih muda mereka sudah harus menjadi dewasa, hidup yang mereka jalani mendewasakan mereka lebih baik dari yang pernah remaja seumur mereka dapatkan. Genta harus berani mempertahankan mimpinya dan Ario harus kuat menjalani hari-hari dengan hantu masa lalu yang kerap menyekapnya di kala malam.
"Gimana pun keadaan lo, lo tetep temen gue." Suara Genta tiba-tiba memecah keheningan.
Ario menoleh dan tersenyum, "Lo emang orang yang paling keras kepala."
Genta tertawa terbahak-bahak, "Ya setidaknya gue tau kalo gue melakukan hal yang benar." Pungkasnya.
Mereka kemudianmelanjutkan perjalanan pulang diiringi dendangan heroes, suara David Bowie mengalun pelan dari audio di dalam mobil Genta. Persis seperti adegan akhir the perksof being a wallflower.

YOU ARE READING
Memento
Mystère / ThrillerHalo, Readers! Memento adalah cerita baru yang akan admin share ke kalian semuan di wattpad @kisahhorror, semoga kalian suka, dan kalo suka jangan lupa like, vote, comment, dan share ya. Sinopsis: Semenjak kematian adiknya, Arlene, Ario dan orang tu...