Bagian 5

71 2 0
                                    



Mobil berwarna biru tua berhenti di tepi jalan, tepat di mana Ario berdiri. Kaca jendela mobil itu terbuka, wajah Genta muncul dari dalam mobil.

"Ayo naik." Sebuah senyuman akrab tersungging di bibirnya.

"Lama banget lo, gue nungguin dari tadi, nih." Keluh Ario.

"Sorry, tadi agak macet di persimpangan. Gue stuck di sana."

Persimpangan? Ternyata ada kesamaan antara Ario dan Genta malam ini. keduanya sama-sama sedang menghadapi sebuah persimpangan. Namun Genta masih beruntung, ia dapat melewati persimpangan ini walaupun tersendat. Tapi Ario, ia harus tetap diam di persimpangan itu selama bertahun-tahun tanpa ada jalan keluar. Memang bukan hal yang menyenangkan berada di sana, apa lagi ia juga berdesakan dengan masa lalu dan masa depan. Ario masih di persimpangan itu, menunggu untuk menerobos atau kembali lagi ke belakang.

"Lo manggung sama Paperwoods?" tanya Ario, cahaya lampu jalan berpendar di wajahnya.

"Gak, Paperwoods lagi gak ada jadwal malam ini. gue manggung sama Ginger."

Ginger adalah salah satu-satunya band metal yang ia miliki, memang tidak seterkenal Paperwoods. Jika menuruti kata hatinya, Genta lebih memilih Ginger. Karena pada dasarnya di sanalah tempatnya, berhimpitan dengan raungan gitar yang berat dan cabikan bass liar dibalut tempo cepat yang membuat jantung berdegup kencang. Permainan drumnya pun terasa berbeda, saat ia bermain dengan Ginger dan Paperwood. Genta merasa jadi dirinya sendiri, setiap pukulan drumnya menwakili jiwanya yang memang tidak lembek. Genta juga tidak ingin meninggalkan Paperwoods, itu adalah band pertamanya yang bisa menghasilkan uang dengan jumlah cukup besar untuk remaja seumurnya. Band bawah tanah memang jarang menghasilkan uang dalam jumlah besar, tapi setidaknya itu menghasilkan sebuah kepuasan untuk birahinya pada musik.

"Wah malam ini kita ber-gigs ria, nih."

Akhirnya sebuah napas lega berembus dari hidung Ario, Ario sama seperti Genta. Seorang penikmat musik bawah tanah yang sering disamakan dengan pemuja iblis.

"Iya dong, kita kan satanis yang konsisten." balas Genta, mereka berdua tertawa bersama.

Akhirnya Ario menemukan pelarian yang tepat.

"Ngomong-ngomong di mana tempatnya?" Ario kembali bertanya saat selesai tertawa.

"Gue juga gak tau pasti, tapi tadi gue di-SMS, katanya di Rossi. Udah deket sih, kalo di depan tinggal masuk ke Fatmawati aja." Genta menjelaskan dengan tatapan yang masih lurus ke depan.

"Untung gue ikut, gue pikir mau ke kafe liat lo main lagu-lagu pop sedih." Ario membuka laci dasboard mobil Genta, ia baru ingat pernah meninggalkan sebuah tissue basah di sana.

"Tadi siang gue lupa ngasih tau lo kalo gue manggung sama Ginger, tapi kenapa akhirnya lo mau juga? Lo kan taunya kalo gue manggung sama Paparwoods?"

Pertanyaan itu terdengar lebih serius, Genta memang ingin tahu apa yang terjadi pada Ario. Apa yang membuatnya mau ikut ke kafe, mendengarkannya bermain lagu-lagu pop yang memang haram masuk telinganya.

"Gue baru inget koleksi DVD gue udah semuanya gue tonton, jadi gak ada kerjaan lagi gue. Dari pada gue bengong mending gue ikut lo, bengong di kafe setidaknya lebih asik dari pada bengong di kamar gue. Sumpek." ekspresi wajah Ario sepertinya memang menyakinkan.

Genta menoleh sejenak,ia mengangkat alisnya lalu mengangguk beberapa kali. ia akan menerima sajajawaban itu, walaupun ia tahu bukan itu jawabannya.


PS: biar bacanya enak, admin kasih lagu Slipknot - Duality. kalo ada yang mau rekues lagu yang enak buat didengerin sambil baca part selanjutnya, silakan comment ya.

MementoWhere stories live. Discover now