01. An angel, personified

591 76 23
                                    

Gatra;

"Na, ayo pulang."

"Ntaaar." Rengeknya tanpa menoleh sedikitpun. Gue yakin dia bahkan nggak nyadar yang ngajak pulang siapa.

Gue. Gatra, Gatra Rayhan Aristo. Ganteng, 'kan, nama gue? Oke, jangan salfok dulu, disini gue akan mendeskripsikan situasi gue sekarang.

Saat ini seorang Gatra dengan muka beler, kacamata melorot, celana pendek selutut, sendal jepit and*o, dan hoodie kuning mentereng—yang gue juga heran kenapa gue beli waktu itu, berdiri di tengah gemerlap dunia malam Jakarta.

Kenapa?

Jawabannya satu.

Vienna. Vienna Amora Risjad. Cantik, ya, namanya? Kayak orangnya.

Vienna, karena dia lahir di kota Vienna, ibukota Austria. Menurut google sih artinya putih. Dan, Amora, dari kata "Amore", yang artinya cinta—dalam bahasa Italia. Cinta yang putih; suci. Gila gak sih, gue jadi ahli interpretasi nama begini. By the way, Risjad mah nama bapaknya, jangan tanya gue artinya apaan.

Kembali ke situasi gue saat ini. Jadi, ada temennya Vienna yang berulang tahun ke-18 dan dirayain di salah satu lounge di Jakarta dengan tema costume party, kayak halloween. Padahal halloween masih lama, dasar koplak. Itulah mengapa seorang Vienna yang dibalut gaun putih polos lengkap dengan bando halo dan sayap malaikatnya bisa ada disini malam—or should I say, pagi—ini.

Bentar, bentar, bukannya kalo halloween itu kita harus berubah jadi orang lain, ya? Kok Vienna enggak? Hehe.

Ah, udah, udah. Kembali ke topik; ada yang penasaran mengapa seorang Gatra bisa ada disini juga? Terlebih dengan penampilan yang kurang sinkron dengan latar tempat?

Karena Gatra baru datang, dan Gatra nggak mau Vienna kenapa-napa.

"Udah malem, ayo pulang." Gue setengah berteriak karena disini berisik.

Temen-temen satu mejanya mulai pada nengok, beberapa ngeliatin gue dengan heran, mungkin ngerasa terganggu. Gue garuk-garuk kepala aja sambil buang muka. Males juga ngeliatin segerombolan manusia berkostum, ada yang kayanya jadi zombie, princess, lebah(?), kelinci, dan segelintir mahluk lainnya yang capek gue mikirnya, sebenernya mereka itu jadi apa?

"Na, Vienna," panggil gue sambil noel-noel sayap putihnya.

"Eh, Gatra?" Vienna yang tadi lagi ketawa-ketawa sama temennya (yang gue kurang paham sebenernya dia jadi apa, vampir apa korban bencana?) akhirnya nengok. Syukurlah dia masih mengenali bentuk gue.

"Kok gak bilang kesini juga? Lo jadi apa, jadi dipsy, ya?" Katanya, yang bikin temen-temennya ketawa. Bisa-bisanya ngelawak pas otw mabok.

"Engga, jadi ayam," jawab gue datar. Eh dia malah ketawa sambil dorong-dorong temen-temennya. "Ayo pulaaaaang." Rengek gue.

"Baru juga jam 8, mulai aja belom." Tolaknya.

"Ini jam 1 pagi, Vienna."

"Iya, 5 jam yang lalu, 'kan jam 8, ha ha ha." Tawanya, about to take another shot.

Gue memutar bola mata, menghentikan tangan kanan Vienna sebelum gelas kecil itu sampai di bibirnya.

"Apa sih, Gat- eh, Yam? Ayam!" Serunya, nggak mencoba melawan. Temen-temennya rata-rata gak peduli, sih, tapi ada juga yang sober enough untuk menatap gue dengan skeptis dan curiga. Gak mau merusak suasana, akhirnya gue ngide aja.

"Gue punya sulap! Mau liat sulap, nggak?" Gue berusaha terdengar seceria mungkin, bikin Vienna ngangguk-ngangguk antusias.

"Tapi ada syaratnya! Syaratnya abis ini lo pulang, oke?"

the things we do for love; day6Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang