Arsena;
"Pak Faisal!" Panggil gue sambil berlari-lari kecil menuju guru sejarah yang juga wakil 2 kepala sekolah sekaligus sarana prasarana.
Setelah salim, gue langsung to the point aja. Menyampaikan aspirasi anak-anak rohis yang merasa karpet masjid udah harus diganti.
Asik, menyampaikan aspirasi. Ya, itu udah jadi tugas gue sebagai ketua OSIS untuk jadi jembatan antara sekolah dan siswa. Anjay, bahasa gue. Pidato gue pas kampanye masih terngiang-ngiang, sorry.
"Yaudah kalo gitu, nanti bapak tambahkan ke anggaran, tapi paling bisanya bulan depan, karena bulan ini sudah penuh."
"Siap, Pak." Gue ngangguk setelah Pak Faisal nepuk pundak gue untuk berpamitan.
Asli, itu orang. Susah bener nyarinya. Dari kemaren gue cariin di ruang guru, katanya di koperasi. Gue ke koperasi, katanya di masjid. Gue ke masjid, katanya di TU. Gue ke TU, taunya lagi pergi dampingin anak-anak ikut seminar. Bodoamat.
Eh, begitu gue lagi buru-buru mau ke kelas karena abis ini ada ulangan, orangnya lewat. Gapapa kok, gapapa.
Pas gue mau balik, sesuatu di mading menyita perhatian gue. Bukan madingnya sih sebenernya, tapi orang yang bediri di depan mading, lagi masang selembar poster ukuran A4 dengan paku payung.
Gue udah nunduk, buang muka biar terhindar dari kontak mata.
Tapi kotak paku payungnya harus banget jatoh, bikin gue refleks nengok ke sumber suara, terus ke orang yang langsung ngambil kotaknya lagi, untung gak berserakan.
Dan mata kita bertemu. Dia duluan yang tersenyum kecil.
"Na- Run," sapa gue kikuk dengan senyum tipis. Bodoh, Arsena bodoohhhhh anak siapa sih.
"Hai, Sen." Bales cewek dengan name tag Aruna Cantika K itu sambil kembali ke aktivitasnya.
Tanpa mikir dua kali (tanpa mikir sama sekali, bahkan) gue samperin anaknya. Apa ya yang bikin IQ gue mendadak setara sama keong tiup gini?
"Gue pegangin sini." Gue menawarkan diri buat megangin kotak paku payungnya.
"Udah kok ini, makasih, Sen." dia neken paku payung terakhir di ujung kanan bawah poster itu pake ibu jarinya.
Gue tengsin, tapi abis gue buang muka ke mading karena salting, madingnya beneran menyita pernatian gue.
Festival Seni Budaya. Gambarnya batik-batik warna warni rame gitu, ada logo kemendikbud sama ikon-ikon cabang lomba. Vocal grup, solo, batik, tari tradisional, band- bentar, tari tradisional.
"Lo mau ikut ini, Na?" Tanya gue ke cewek berambut hitam panjang itu. Mengingat jabatannya yang wakil ketua dari eskul tari tradisional sekolah.
"Eh? Nggak tau, Sen. Udah kelas 3 juga." Jawabnya setengah hati. Believe me, she'd give anything to be on that stage again.
"Ooh, tapi lumayan sih ini buat-"
"Eh, Sena! Kelas lo udah ada guru ta- eh, Run!" Sebuah suara yang bikin gue kaget merusak suasana.
Duh, gak tepat banget sih, Nya.
"Hai, Nya." Runa balik menyapa. Lawan bicaranya nyengir minta dipiting.
"Yaudah gue duluan ya Nya, Sen." pamit Runa sambil berjalan pergi meninggalkan gue dan si anak IPS satu ini.
"Iya, Run, tiati!" Sahut gue yang dibales dengan senyuman.
It's been two months. Dan senyumnya masih sama, kayak perasaan ini, yang gak berubah.
Halah.
KAMU SEDANG MEMBACA
the things we do for love; day6
Tienerfictie[HIATUS] Oh, nothing, just a bunch of guys, doing a bunch of stuff just to put a smile on some faces, not knowing it was just a very intense feeling of pure happiness and warmth towards someone... also known as love. ✨notes✨ -day6 lokal -school life