Petikan Gitar Arsena

295 34 11
                                    

K e n y a

"BANG! BANG KOBIL! ADUH" aku mempercepat langkah kakiku, meneriaki seorang pria paruh baya yang setiap malamnya mendorong gerobak biru tua yang bertuliskan:

NASI
KWETIAU
MIE
GORENG

keliling komplek perumahanku. Dan sekarang sosoknya tinggal sebesar ibu jari kalau diliat dari tempatku berdiri.

Yang bikin aku sebel itu, bisa-bisanya aku nggak pernah ngeh kalau suara tok tok-an dari gerobak Bang Kobil udah deket rumah. Giliran udah jauh aja, baru deh. Kayak sekarang ini, aku lagi jalan cepet menyusuri rintik hujan dan gelapnya komplek perumahanku dengan penampilan seada-adanya: sandal jepit yang kanan kirinya beda model karena buru-buru, celana piyama panjang motif gudetama, dan hoodie abu-abu yang wangi downy campur dark amber-ginger lily-nya udah tergantikan sama wangi molto. Iya, hoodie-nya Sena yang dia pinjemin ke aku beberapa hari lalu. Dan nggak nyampe situ aja, aku kayak gini sambil bawa-bawa piring, kebayang nggak anehnya?

"BANG KOBIIIIIL" panggilku lagi setelah pria itu berhenti di depan gerbang putih sebuah rumah yang lumayan jaraknya dari rumahku kalau jalan kaki. Kalau naik mobil sih 2 menit juga nggak ada.

Gerbang itu udah terbuka, menampilkan seorang cowok dengan kaos lengan panjang warna gelap dan celana pendek selutut. Dia juga bawa-bawa piring. Arsena.

Dia nih kalau malam-malam begini sukanya di teras, nungguin bapaknya pulang sambil gitaran atau ngerjain tugas, atau merasa terpanggil aja karena hujan. Kalau Jumat malam begini mah nggak mungkin ngerjain tugas sih.

"Bang, Bang, saya dulu dong, kwetiau satu dikit aja pedesnya." Pesanku begitu sampai di rumah nomor 45 itu. Sekarang gerobak Bang Kobil ada di pekarangan rumah Arsena biar nggak kena gerimis.

"Eh, Neng Kenya. Ini Mas Sena juga mesen kwetiau kok, Neng." Pria dengan topi cokelat dan kaos oblong biru itu menyapaku. Sementara Arsena lagi ngeliatin kakiku.

"Itu kenapa sebelah-sebelahan gitu?" Tanyanya menginterogasi. Nada bicaranya emang suka bikin sebel, tapi suaranya serek-serek lembut gitu, jadi gak papa deh, banyak-banyakin ngomong aja, Sen.

"Kenapa, mau ngatain? Katain aja, katain." Balasku yang membuat Arsena terkekeh pelan.

Sementara Sena kembali ke tempat duduk di teras rumahnya, aku yang tadinya mau nungguin kwetiauku aja biar cepet jadi terus aku langsung pulang, sekarang nggak jadi, soalnya bener kataku tadi, malam ini Sena genjrengan.

"Disaat kita bersama
Diwaktu kita tertawa, menangis, merenung, oleh cinta..."

Aku udah copot sendal, sekarang lagi duduk di kursi sebelah Sena, yang lagi asik sendiri sama Atom—gitar akustik kesayangannya.

"Kau coba hapuskan rasa
Rasa dimana kau melayang jauh dari jiwaku, juga mimpiku..." lanjutnya.

Aduh, Sheila on 7. Kebayang nggak sih kalo pacaran sama Sena, pasti sering dinyanyiin pake gitar?

"Biarlah biarlah- eh," Arsena tiba-tiba berhenti, kayaknya salah chord.

"Aduh lupa lagi... Dan kau bisikkaaaaan kaaata ciiiinta~"

Sementara dia asik nyanyi sambil gitaran, aku bengong ngeliatin lampu taman yang bersinar nggak terlalu terang karena warnanya yang kekuningan. Sedikit berembun karena cuaca lagi aneh-anehnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 20, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

the things we do for love; day6Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang