06. Homerun

233 46 21
                                    

Kenya;

"Bagus ya, Kenaya? Sama Basel sekarang?"

Itu kata-kata terakhir dari Bu Ning sebelum Pak Jefri dateng, memperkeruh suasana.

"Gak usah difoto, bisa?" Kata Sena ke anak-anak yang harusnya udah di lab sekarang, tapi malah nontonin kita—aku sama Basel.

Basel. Di antara kurang lebih 500 siswa laki-laki di sekolah ini, kenapa mesti Basel Abimana Dewangga? Oke, gue akui dia emang ganteng, super charming, kayak cowok di film-film, man in a movie. No wonder all the girls go crazy for him. Tapi itu masalahnya, dia Basel. Siapa yang nggak tau Basel? Your local high school bad boy.

Ceweknya banyak, lo tanya aja temen bimbel lo, pasti ada lah satu dua orang mantannya Basel. Kerjaannya cabut, berantem, bikin onar. Padahal menurut gue dia nggak seburuk itu? Oke, mungkin kelakuannya buruk; tapi kepribadiannya kayanya enggak? Buktinya dia bantuin gue, sampai ikut ketauan? Jadi gue yang nggak enak sama dia, gara-gara gue dia jadi kena hukuman juga.

Tapi tetep aja! Fix lah abis ini gue diomongin satu sekolah. Padahal gue nggak ngapa-ngapain sama Basel! Dia tau keberadaan gue aja barusan.

Oh, aren't we misunderstood? Seberapa banyak orang yang dengan mudahnya disalahpahami hanya karena label yang menempel? Here's a secret: they actually don't define you at all. Only if you don't let them to. Define yourself.

"Makasih ya, Arsena. Silakan kembali ke kelas, Ibu dengar kamu ada ulangan ya? Maaf ya, bilang aja tadi kamu saya panggil." Kata Bu Ning ke Arsena. Giliran Sena aja, lembut bener udah kaya mantu. Lah gue? Gue lewat aja dipelototin kaya gue ngancurin rumah tangganya.

Setelah dia salim ke Bu Ning sama Pak Jefri buat pamit, Sena ngeliatin gue dengan tajam sebelum pergi. Apa coba? Gara-gara dia telat ulangan? Lebay emang bapak negara.

Akhirnya gue dan Basel dibawa ke kesiswaan. Basel, karena cabut kelas dan ngerokok. Gue yakin itu poin dia kalo dikumpulin kayanya bisa dituker voucher gofood. Iya, alay banget sekolah gue pake sistem poin segala.

Dan gue, karena seragam gue "nggak sesuai standar" kalo kata Bu Ning. Katanya kemeja gue seukuran anak SD, rok gue kekecilan. Banyak yang kaya gitu, tapi gue lagi sial aja tadi ketemu Bu Ning. Jadinya sekarang seragam gue dicoret pake spidol permanen merah.

Gak nyampe situ aja, setelah guediomelin tiga guru sekaligus dan dikasih poin, kita dihukum dong. Disuruh ngumpulin daun-daun kering dari lapangan di plastik gede terus dikumpulin ke kesiswaan. Tapi baru juga 5 menit menjalani hukuman, Basel udah ilang. Sial.

Gue sengaja lama-lamain kerjanya sampe bel makan siang, abis gue males lagi masuk kelas, udah telat, nanti pasti ditanya-tanyain, males amat. Begitu bel bunyi, gue cabut ke kantin setelah ninggalin plastiknya di sebelah pintu ruang kesiswaan, mager amat masuk lagi.

Gue langsung gabung sama temen-temen gue yang juga baru duduk di salah satu meja kantin. Terus di sebrang sana harus banget ada seorang Basel yang lagi minum teh kotak, ngeliatin gue. Ya gue buang muka lah, kesel. Mana gue kemana-mana jadi nyium bau rokok kecampur parfum apaan ga tau gara-gara dia.

Nggak lama setelah itu, tiba-tiba ada jaket abu-abu yang familiar nemplok di bahu gue. Wangi downy yang kecampur parfum Jo Malone yang dark amber & ginger lily, wanginya Sena.

"Pake. Malu bajunya dicoret-coret."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
the things we do for love; day6Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang