Sepatu Ballet Vienna

279 40 7
                                    

"Makasih ya, Pak." Aku menutup pintu setelah membayar sejumlah uang dan keluar dari taksi biru yang ku pesan setengah jam yang lalu.

Siang ini, masih dengan seragam sekolah hari Jumat, aku nggak langsung pulang. Aku juga menolak ajakan temen-temenku yang kayaknya sekarang masih terjebak macet, mau ke mall. Siang ini aku pergi ke sekolah ballet yang menjadi tempat favoritku (selain rumah pohonnya Gatra) sejak 13 tahun yang lalu.

"Mas Baron!" Sapaku sambil membuka pintu ruang administrasi sekaligus koperasi tempat lesku ini.

Sebelumnya aku nggak tau sih orangnya ada apa engga, tapi biasanya Mas Baron standby disitu. Jadi anggep aja itu habitatnya.

"Masa yang pink nggak ada sih, Om?" Tanya seorang penari kecil yang duduk di kursi kerja sebelah Mas Baron yang sibuk sama komputer di depannya. Kan, bener. Orangnya selalu disitu.

"Oy, Na!" Sapa Mas Baron agak telat.

Penari kecil yang daritadi muter-muterin kursinya itu akhirnya berhenti. Kira-kira umurnya 4 atau 5 tahun, dilihat dari seragam ballet nya yang berwarna baby pink, pemula 1. Matanya bercahaya, rambut ikalnya tergulung rapi dalam satu cepolan, wajahnya masih segar, pasti baru mandi.

"Aku mau yang piiiink." Rengeknya, ngacak-ngacak berbagai model dan warna jaring cepolan rambut di hadapannya.

"Abis, Byyy. Yang ungu aja nih, katanya warna favorit Abby ungu?"

"Ya tapi kan seragam aku pink, Om Baloooon. Nggak matching." Rengeknya lagi.

"Yaelah, By. Matching-matching amat. Ngomong R aja dulu yang benel." Ledeknya.

Abby mendengus kesal. Aku tertawa kecil sambil menutup pintu sebelum menaruh tas sekolahku di sofa cokelat dekat lemari pendingin kaca berisi minuman.

"Bloch ukuran lima udah dateng, Mas?" Tanyaku sambil duduk, mulai melepas sepatu hitam yang setiap hari kukenakan untuk sekolah. Aku mau lepas kaos kakinya aja sih sebenernya.

"Yah, belom, Na. Minggu depan deh, minggu depan."

"Minggu depan mulu, sepatuku udah tipis nih, kalo nginjek air ngerembes." Aku mengeluarkan sepasang sepatu ballet yang warnanya mulai pudar. Bagian bawahnya keabuan, buluk. Harus cepet-cepet diganti sebelum kena hujatan guruku nanti.

"Ukuran 4, mau?" Tawarnya setelah terkekeh pelan, gara-gara aku bilang kalo nginjek air ngerembes.

Nggak aku jawab lagi, males banget.

Malah sepasang mata bulat dan besar milik Abby menyita perhatianku. Tapi matanya tertuju pada sepasang sepatu balletku yang sudah usang.

"Kakak... aku mau liat itu boleh nggak?" Tanyanya. Aku tersenyum, gemes banget.

"Jangan, bau." Celetuk Mas Baron yang langsung mendapat satu tabokan dari Abby. Bagus, By!

"Aku maunya pake sepatu ini tapi dikasihnya yang, ini." Katanya, sambil ngangkat salah satu kakinya yang dilapis stocking putih dan sepatu ballet yang lunak.

"Makanya Abby narinya yang bagus, biar cepet ganti sepatu biar sama kayak aku!" Seruku menyemangati, yang sukses bikin senyum Abby makin lebar.

"Eh, By, udah jam satu tuh. Gih sana jangan ganggu Om mulu." Usir Mas Baron becanda, yang bikin Abby ngelipet tangan sambil cemberut, ngambek ceritanya.

"Yuk By, sama kakak aja! Om Balon bau." Aku pun bediri, mengajak Abby keluar dari ruang administrasi.

Sebetulnya jadwal les ku masih lama, masih sore nanti, jam 5. Tapi aku nggak tau aja mau kemana, nggak tau mau ngapain. Aku nggak pengen pulang, jalan-jalan ke mall juga bosen. Mana tadi nilai ulangan harian kimia kelasku keluar lagi, bete banget ngeliat hasilnya. Jadi aku kesini aja.

the things we do for love; day6Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang