"Mobil lo?"
"Dikasih Bokap."
Hanya pertanyaan-pertanyaan singkat serta jawaban sederhana yang jadi perbincangan mereka. Suasana hening tanpa ada yang berniat menyalakan radio hanya untuk sekedar mengisi kesunyian.
Berkali-kali Reuben memperhatikan Ben melihat jam tangannya. Lalu memutar mata menanggapi kemacetan yang masih saja terjadi di jam malam.
"Gue bisa turun disini."
"Gapapa, tanggung bentar lagi sampe."
Sautan suara klakson dari luar untungnya mampu meredam kekakuan yang mereka rasakan. Setahun tidak berjumpa ternyata mampu memberikan celah begitu luas di antara mereka.
"Kita perlu banyak ngobrol." Dari tadi selalu Reuben yang membuka suara lebih dulu.
"Iya kayanya, tapi gak sekarang."
"Iya tau, mungkin nanti."
Mobil berbelok mengambil jalan alternatif untuk menghindari macet. Melewati jalan kecil dan berbelok-belok namun minim kendaraan.
"Kenapa pindah rumah?"
"Bokap bilang terlalu gede untuk kita berdua."
Reuben melirik. "Bukan karena bangkrut, kan?"
Ada kekehan dari Ben yang cukup mencairkan suasana. "Nggaklah, kalo bangkrut gak mungkin gue dikasih mobil."
Kembali Ben melihat jam di tangannya, lalu mengeluarkan ponsel dari saku celana dan mengeceknya.
Perilaku yang mencurigakan tapi Reuben tidak ingin ambil pusing. Hari ini sudah cukup membuatnya lelah, ingin dia marah namun tenaganya sudah terkuras untuk menahan sabar.
"Lo cerita soal kita ke Timur?"
Ben mengangguk. "Gak perlu dikasih tau dia udah nebak sendiri. Lo ketemu dia?"
"Tadi mampir ke sekolah dulu."
"Dia kerja di restoran belakang sekolah sekarang." Jelas Ben.
"Iya tau, makanya ketemu tadi karena dia nganter makanan buat Pak Anto."
Mobil berhenti tepat di depan gerbang rumah. Ben ikut turun, membantu mengeluarkan koper dan melampirkan tas milik Reuben di bahunya.
Pak Sadi menyambut dengan senyuman dan membukakan pagar. Dia menyalami Reuben dan juga Ben lalu berniat membantu mengangkat barang namun ditolak.
"Gapapa Pak, biar saya aja." Ucap Ben.
Reuben memberikan selembar uang ke Pak Sadi. "Bapak kok belum pulang?" Supirnya itu memang tidak tinggal di rumah, dia akan pulang jika tugasnya sudah selesai.
"Makasih, Mas. Ini saya mau pulang, tadi abis anter Ibu belanja bulanan."
"Yaudah kalo gitu, saya masuk dulu. Bapak hati-hati pulangnya."
"Iya, Mas. Mari Mas Ben, saya duluan." Sadi ijin pamit, dia pulang menggunakan motornya karena memang jarak rumahnya yang dekat.
Ben memperhatikan sekitar, rasanya sudah lama sekali kakinya tidak menginjak tempat ini. Suasana ketika berada di halaman depan masih sama, asri dan menyejukkan.
Tapi memang kenyataan sudah begitu lama juga dia tidak pernah berkunjung.
Pintu diketuk dan Sonya muncul dengan secercah senyumannya. Dia memeluk Reuben erat sebelum perhatiannya teralihkan ke sosok Ben yang berada di belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Candala [2]
Teen FictionSatu tahun begitu mencekik hatinya. Meremas perasaan yang sedang bergejolak karena rasa cinta. Perpisahan dengan jarak dan waktu sebagai penghalangnya, kini terlawati sudah. Namun harapannya hanya angan belaka ketika kenyataan berkata lain. Tidak a...