Mungkin Reuben sudah gila, dia mengharapkan musuhnya yang kini mulai jadi teman baik untuk bisa dekat dengannya. Mengalami gejolak batin yang begitu dahsyat pada Gildan yang masih setia bersandar pada pikirannya.
Mereka hanya menghabiskan waktu setengah hari, lalu terjadi suatu hal yang di luar dugaan. Namun efeknya pada Reuben bisa begitu membekas.
Sekarang Gildan masih tetap duduk menjauh darinya. Tapi tidak bisa bohong, bahwa pria itu selalu menoleh ke arah Reuben disaat dirinya sedang tidak sadar.
Siapa yang tau bahwa sesungguhnya Gildan telah salah karena berkata bahwa dirinya tidak bisa lagi mengobrol secara nyaman dengan Reuben. Kenyataannya adalah dia merasa resah karena beberapa waktu ini mereka jarang berkomunikasi.
Terakhir adalah saat di pinggir lapangan tepat di bawah pohon. Di hari saat Gildan memberanikan diri mengajaknya ke kantin namun juga tidak terjadi obrolan disana.
"Ayah ngajakin lo buat makan di rumah." Ben menelfonnya saat jam istirahat.
"Malam ini?"
"Lusa, malam ini Aila mau ke rumah karena Ayah nanyain dia."
Rasa senang yang sebelumnya hinggap karena Demas mengajaknya untuk datang runtuh seketika disaat Aila juga diundangnya namun di hari yang berbeda.
Ben kembali berbicara. "Ayah tau gue deket sama Aila, jadi dia minta ketemu buat pertama kalinya."
"Gue ngerti." Singkat Reuben.
"Maaf kalo gini caranya, tapi gue emang pengen terbuka sama lo pelan-pelan."
Dari sisi yang berbeda, Gildan memperhatikan Reuben sedang sibuk berbicara dengan seseorang di ponselnya. Terlihat serius hingga dia tidak ingin mengganggunya, walaupun ingin.
Memang begitu ketara kalau ekspresi Reuben mendadak malas, padahal sebelumnya dia cukup antusias ketika mengangkat sambungan.
"Ya bener, cuma gue masih harus terbiasa aja kalo lo bawa-bawa dia." Cetus Reuben.
"Gue jemput lo lusa di sekolah ya."
Setelah selesai pembicaraan, Reuben memasukan ponselnya ke dalam saku. Tanpa tau bahwa Gildan menghampirinya.
Saat Gildan ingin berucap, Reuben sudah lebih dulu meninggalkan kursinya dan melenggang pergi.
"Kok jadi kaya gue yang kaku gini sih." Gildan menggaruk sudut kening yang sebenarnya tidak gatal.
Tidak ada teman yang bisa berbaur dengan Reuben, karena dirinya juga merasa asik dengan kesendiriannya di sekolah. Lagipula dia yang dicap sebagai 'preman' membuat beberapa murid cukup minder berteman dengannya.
Kecuali satu orang dimana bukan murid dan anak sepantarannya. Yaitu Anto yang selalu setia jadi teman ngobrol Reuben.
"Jadi masih belum akur juga?"
"Kayanya kita emang ditakdirin buat saling berantem. Tiap ketemu selalu aja ada hal yang kita ributin, kebanyakan sih soal dia sama perempuan itu. Cuma yang kecil-kecil pun suka kita besarin dan bikin pusing sendiri."
Mereka berada di kursi yang berada pada halaman belakang sekolah. Dulunya tempat ini memang sering jadi tempat para murid untuk bolos atau merokok. Tapi sekarang sudah dipercantik oleh pihak sekolah.
Selain bisa buat bersantai, sebagian pedagang yang berada di kantin dalam diletakkan disini. Sehingga para murid bisa makan sekaligus menikmati angin sejuk dan panas matahari yang menantang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Candala [2]
Teen FictionSatu tahun begitu mencekik hatinya. Meremas perasaan yang sedang bergejolak karena rasa cinta. Perpisahan dengan jarak dan waktu sebagai penghalangnya, kini terlawati sudah. Namun harapannya hanya angan belaka ketika kenyataan berkata lain. Tidak a...