Pagi mulai membentang seiring suara Rambo yang begitu nyaring. Merasuk ke dalam pendengaran yang otomatis membangunkan Reuben dari tidur lelapnya.
Semakin lama dia akan terbiasa dengan kebisingan yang Rambo buat. Telinganya mulai tidak mengeluh dan pola tidurnya juga teratur.
"Tuh burung rame banget ya suaranya." Keterkejutan Reuben muncul ketika pintu kamarnya terbuka dan ada Gildan disana.
Lusa lalu pria itu benar-benar mengajaknya makan es krim setelah pulang sekolah. Melipir ke kedai mungil di pinggir jalan yang ramai dengan anak bocah sekolah dasar bersama orang tuanya.
Mereka berdua seperti tersesat di satu tempat. Bahkan pelayan sempat menertawai karena ada dua pria remaja yang sengaja datang untuk membeli es krim.
Tidak salah memang orang makan itu. Hanya saja waktunya mungkin yang tidak tepat. Bersamaan dengan para bocah yang merengek kepada orang tuanya untuk meminta berbagai macam rasa. Ditambah tidak ada orang yang seumuran dengan mereka.
"Kita makan sambil jalan aja." Cetus Reuben saat itu.
"Iya, berisik banget disini." Tanpa sadar tangan Gildan menarik Reuben keluar dari kerumunan di kedai. "Gue pengen bakso malang belakang sekolah, boleh kan lo makan itu?"
Bakso malang dimana tempat Reuben dan Ben makan bersama. Titik dimana hubungan mereka yang tidak akur mulai melunak karena situasi yang mendukung.
"Boleh sih, tapi gue pengennya nasi padang." Reuben tidak mau kesana dengan pikirannya yang sedang kalut akan orang yang berkaitan dengan tempat tersebut.
"Yaudah, kita makan yang di deket rumah lo aja. Biar gampang juga gue anterin lo pulang."
Perubahan sikap yang Gildan tunjukan begitu bertolak belakang dengan pernyataannya bahwa dia tidak nyaman mengobrol dengan Reuben. Kenyataannya malah sekarang dia begitu lancar mengajaknya berbicara bahkan mengajaknya kesana kemari tanpa beban.
"Tapi ini lepas kenapa, gue masih bisa jalan gak usah dituntun juga." Tangan Gildan masih mengerat pada lengannya, menariknya agar mengikuti langkah.
Gildan jadi mendadak kikuk dan melepas genggamannya. Dia merasa aneh dengan dirinya sendiri atas apa yang terjadi pada benaknya kini. Tidak jelas apa yang menjadi keinginannya, hanya saja dia tidak bisa menghindari Reuben seperti sebelumnya.
Bahkan berniat untuk mengantarnya pulang, jelas itu bukan Gildan sekali. Sekarang, di pagi ini seakan langkah kakinya bergerak begitu saja untuk menjemput Reuben.
"Nyokap lo masih belum sadar gue siapa." Gildan menghampiri. "Gimana kalo gue kasih tau dia?"
Reuben mengucek matanya karena masih butuh menyeseuaikan dengan cahaya. "Kalo lo emang berencana buat gak kesini lagi sih silakan."
"Karena nantinya dia pasti bakal tau juga. Gue gak bisa simpen kesalahan ini lebih lama."
"Gue lagi gak mau ribut, lakuin sesuka lo aja." Reuben berangsur bangun dari kasurnya dan membuka jendela kamar agar angin bisa masuk.
Namun apa yang dilihatnya di depan pagar adalah sebuah bencana yang akan segera datang. Ben berada disana, baru saja keluar dari mobilnya dan mulai masuk ke dalam rumah.
"Itu temen lo yang waktu itu jemput di sekolah, kan?" Gildan melongok dari belakang.
Reuben membalikan badan. "Lo gak mau ke sekolah duluan aja? Daripada telat nanti. Gue belum mandi juga soalnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Candala [2]
Teen FictionSatu tahun begitu mencekik hatinya. Meremas perasaan yang sedang bergejolak karena rasa cinta. Perpisahan dengan jarak dan waktu sebagai penghalangnya, kini terlawati sudah. Namun harapannya hanya angan belaka ketika kenyataan berkata lain. Tidak a...