Kenapa harus ada perempuan ini? Kenapa disaat Ben menjemputnya, harus ada dia yang mengganggu. Kenapa juga Aila bisa tertawa lepas seakan tidak ada yang mengancam. Kenapa juga, Reuben harus duduk di belakang seperti tidak ada gunanya.
Sebuah keputusan yang salah ikut dalam mobil ini, seharusnya tadi Reuben bisa menolak dan pulang naik angkutan umum. Tidak peduli jika Sonya akan marah, setidaknya dia tidak perlu melihat Aila.
"Kita anter Aila ke supermarket bentar, ya? Dia disuruh Nyokapnya beli daging." Ben melihat Reuben dari spion tengah.
Gak ada urusannya juga sama gue, anjing. Batin Reuben mendumal.
"Terserah." Jawab Reuben singkat.
Aila menengok ke belakang, dia agak tersenyum canggung. "Maaf ya, jadi repot harus nemenin gue dulu."
"Gapapa, harusnya gue minta maaf bikin kalian susah buat jemput." Sindir Reuben dengan arah matanya ke Ben.
"Santai aja, tadi Ben juga bilang mau jemput lo dulu dan gue juga gak keberatan." Wajah sungkan yang ditunjukkan Aila perlahan hilang, dia mulai merasa Reuben akan menanggapinya dengan baik.
"Baik banget, padahal gue bisa balik naik bis atau taksi." Ketika mulut dan hati tidak berkisnambungan, maka ini yang terjadi.
Reuben memasang topeng sok manisnya dan terlihat menerima Aila, padahal sesungguhnya dia muak dan ingin segera turun dari mobil.
Ingin dia bilang ke Ben untuk berhenti dan membiarkannya pulang sendiri. Tapi pasti tidak diijinkan, dia malas jika harus berdebat.
"Justru gue gak enak karena tadi minta nemenin Ben. Gue gak tau kalo dia udah janji duluan sama lo."
"Sebenernya gak janji sih, dia aja yang ngotot pengen kesini."
Aila langsung melihati Ben seakan menerawangnya. Sementara yang dilihati seakan tidak menyadari dan malah sibuk mengelus dagunya sendiri.
Siapa pun bisa merasakan, mau seperti apapun ditutupi, ketegangan dari mereka berdua sudah terlalu jelas terlihat. Apalagi dari setiap sautan Reuben yang sepertinya malah memojokan Ben, walau dia sedang tidak berbicara padanya.
"Tadi temen lo?" Ben melirik ketika mobil berhenti di lampu merah.
Merasa dipandang, Reuben balas menatapnya. "Temen di sekolah lama."
"Kok bisa seangkatan? Gak lulus dia?"
"Iya."
Ben menggeram sesaat karena jawaban singkat Reuben serta mimiknya yang terlihat tidak berminat untuk mengobrol dengannya.
Situasi sekarang mengharuskan Ben mencairkan suasana hati Reuben, yang dia tau menjadi tidak baik semenjak bertemu langsung dengan Aila.
Tapi entah Reuben tidak peka atau sengaja, dia terlihat cuek dan malah menanggapi Ben dengan ketus.
"Karena badung apa bego?" Tanya Ben tanpa maksud untuk mengetahui seluk beluk pria tersebut. Dia tidak ingin Aila merasakan ketegangan antara dirinya dengan Reuben, meskipun sudah terlambat.
"Mana gue tau, emang gue emaknya."
"Kali aja lo tau, tadi keliatan akrab gitu."
Sekarang Reuben merasa lampu merah ini begitu lama berganti hijau. "Lo gak liat tadi gue ribut mulu sama dia?"
Kini sepenuhnya Ben melihat pada Reuben. "Serius ribut apa cuma adu mulut sesaat?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Candala [2]
Teen FictionSatu tahun begitu mencekik hatinya. Meremas perasaan yang sedang bergejolak karena rasa cinta. Perpisahan dengan jarak dan waktu sebagai penghalangnya, kini terlawati sudah. Namun harapannya hanya angan belaka ketika kenyataan berkata lain. Tidak a...