Kejujuran

9.4K 1.2K 661
                                    

Hujan mengguyur di malam yang sedang menjadi saksi. Bahwa ada dua pria yang sedang bergemul dalam pelukan, merengkuh kehangatan kulit yang saling bersentuhan.

Mencicipi tiap jengkalnya dengan belaian jari yang begitu lembut. Menguraikan kata-kata dengan suara pelan, membuat merinding sekujur tubuh.

Ben sudah melepaskan kaus yang menutupi Reuben, menyingkapnya lalu melemparkan asal. Tangannya juga sudah bergerak sejak tadi, mulai dari perut lalu merambat naik merasakan tulang-tulang rusuknya.

Mata sayunya fokus pada keindahan lekuk tubuh Reuben yang putih bersih. Sementara yang diperlakukan, begitu menikmati sembari memejamkan matanya.

"Lo yakin?" Bisik Ben tepat di depan wajah Reuben dengan kening mereka yang saling menempel.

Reuben yang pasrah akhirnya bergerak menyentuh rahang pria yang sedang berada di atas tubuhnya. Mengusap dagunya yang baru saja ditumbuhi bulu kasar, telunjuknya pun memainkan tulang pipinya yang begitu tegas.

"Kalo dengan cara ini hubungan kita bisa membaik, gue gak nolak." Balas Reuben.

"Harus dengan cara ini?" Tanya Ben.

Tidak ingin banyak bicara, Reuben menyambar lebih dulu bibir Ben yang sudah menggodanya. Mencecapi rasa yang memikat disana, menjilati bagian bawahnya.

Ben tidak bergerak seolah membiarkan lawannya berpuas diri dengan parasnya. Sampai ketika Reuben memasukan lidahnya yang lincah, barulah ciuman itu terbalaskan.

Bermain dengan lihai seiring suara petir yang mennggema. Ciuman yang penuh perasaan, seakan sudah sejak lama mereka tidak merasakan ini.

Getaran dalam perasaan keduanya berdebum begitu keras. Seakan gendang telinga mereka bisa mendengar suara itu. Seakan isi hati mereka pun saling bersautan dan terdengar kencang dalam kamar ini.

"Setahun lo menahan perasaan karena gue gak ada. Dua bulan lo hilang cari orang lain untuk nutupin itu. Apa berhasil?" Ujar Reuben.

Ben menggeleng. "Gue cuma nyakitin lo. Dalam dua bulan itu, gue yakin rasa percaya yang lo kasih ke gue, hilang gitu aja karena kesalahan yang gue buat."

"Saat ini rasa percaya itu gak akan bisa pulih dengan mudah, Ben. Lo mesti usaha untuk meyakinkan gue lagi."

Baju yang dikenakan Ben dilepaskan. Menampilkan tubuhnya yang tegap dengan dada dan lengannya yang berisi. Reuben menatap seolah meminta perlindungan dari sana, dari pemandangan yang tidak bisa teralihkan.

Leher Reuben yang jenjang sudah membuat Ben menelan ludah berkali-kali. Dia pun tidak bisa untuk tidak mengecupunya.

Tanda merah itu muncul dari perlakuan Ben yang membuat Reuben mendesah tidak tertahankan. Tidak hanya satu titik sensitif yang dimanjakan tapi banyak tempat yang jadi cumbuannya.

Ketika Ben ingin terus melanjutkan aksinya, kesalahan yang telah dia lakukan muncul begitu saja dalam bayangan. Bagaikan ingatan menyakitkan, kepalanya diserang oleh perlakuannya dengan Aila.

"Ada sesuatu yang harus gue bilang." Ujar Ben.

Tangan Reuben yang mengalung di lehernya dengan erat, mengendur begitu mendengar Ben berbicara. Matanya yang tadi terpejam menikmati sentuhan, terbuka perlahan.

Kembali Ben berbicara. "Lo bukan yang pertama. Gue udah lakuin ini sama Aila."

Tidak ada reaksi berarti dari Reuben. Tangannya terlapas, berpindah pada lengan Ben yang menjadi tumpuan tubuhnya.

"Jadi ini alasan lo ngulur waktu untuk cerita semuanya?" Reuben terkekeh menyikapi dirinya sendiri. "Karena nunggu gue siap dan biar gak sakit hati denger itu."

Candala [2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang