Sensitif

10.4K 1.5K 897
                                    

Kali ini Ben datang di mata kuliah yang berbarengan dengan Aila. Sejak Reuben kembali, dia mencoba untuk menjaga jarak dengan perempuan tersebut.

Tapi tidak mungkin juga dia terus menghindar, karena Aila pasti ingin tau apa yang terjadi. Dia pun ingin lulus mata kuliah ini, kalau sering alfa pasti juga akan mempengaruhi nilainya nanti.

Ben masuk dan melihat Aila sedang sibuk dengan ponselnya, masih belum menyadari kehadirannya. Saat sebuah botol minum terletak di meja, baru perempuan itu mengangkat kepalanya.

"Lo nitip, kan?" Tanya Ben.

"Perasaan gue nitip minggu lalu, lo amnesia apa gimana?"

"Ya, daripada gak gue beliin sama sekali. Ini di kantin kampus gak ada. Gue mesti beli di tempat lain."

Aila tetap berterima kasih. "Kemarin kemana?"

"Males masuk."

Ada beberapa kelas yang Ben ambil bersamaan dengan Aila. Seminggu bisa tiga kali bertemu, jadi kalau dirinya jarang masuk pasti akan mencurigakan.

"Tumben, biasanya rajin karena males kalo sendirian di kosan."

"Lagi mumet aja." Ben duduk di sampingnya.

Sebisa mungkin dia tidak ingin Aila bertanya macam-macam dengan sikapnya yang berubah. Jadi dia berusaha seperti biasanya.

Aila sebenarnya bukan tipe perempuan yang harus selalu tau dimana teman dekatnya berada, ya teman dekat karena sampai sekarang Ben dan dirinya berkomitmen untuk tidak berpacaran dulu.

Alasannya karena Aila baru putus dengan pacarnya dan dia masih ingin menikmati kebebasannya sebagai seorang jomblo. Sementara Ben tidak ingin terburu-buru untuk menjalin hubungan dengan seseorang.

"Ini tugas pas lo gak hadir, gue catetin semuanya. Lo kerjain sendiri, jangan minta bantuan gue." Aila memberikan beberapa lembar kertas berisi tugas.

"Jadi minggu ini gak bisa mampir?" Ben mencoba bersikap biasa, ingat? Dia tidak ingin terlihat berubah di depan Aila.

"Sekedar makan malem boleh sih, tapi gak nginep." Jelasnya.

Ben mengerti. "Lo lagi ada masalah? Kaya lebih diem hari ini."

Aila melihat ke sekitar, beberapa mahasiswa sibuk dengan obrolan mereka sendiri. Dia memainkan pulpen yang ada di tangannya, seperti bingung ingin bicara atau tidak.

Karena apa yang ingin diutarakan juga agak pribadi dan dia tidak ingin yang lain mendengarnya.

"Ini cuma perasaan gue aja, atau emang selama ini lo lagi berusaha ngelupain seseorang?"

Ben mengernyit, tidak mengerti apa yang dimaksudkan.

Jadi Aila melanjutkan perkataannya dengan lebih jelas. "Soalnya gue liat lo kaya manfaatin gue aja, maaf sebelumnya kalo itu cuma pemikiran gue yang buruk."

"Manfaatin gimana? Dengan gue minta bantuan ngerjain tugas? Kalo emang itu apa hubungannya sama ngelupain seseorang?"

"Bukan itu, maksud gue bagian kita sebagai... lo ngertilah maksud gue."

Ben mencoba memahaminya, lalu seketika matanya melotot. Dengan mulut menganga dia berbisik. "Lo hamil? Kita, kan main aman."

Aila memutar bola matanya. "Bukan dongo, gue cuma ngerasa kita gak berkembang, paham nggak? Gini-gini gue perempuan, Ben."

"Ya iya perempuan, gue udah liat daleman lo dan emang asli." Cetusnya dengan sedikit frontal. "Kan, lo juga belum mau kita pacaran."

Candala [2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang