"Jadi Gildan ini temen SMA Reuben di sekolah yang lama?"
Sekarang mereka sedang makan malam bersama. Reuben bercerita siapa Gildan pada Sonya, yang sedari tadi banyak nanya. Kebiasaannya memang begitu, jika ada teman anaknya yang baru dilihat, dia akan begitu semangat untuk mengobrol.
Sepanjang pembicaraan mereka, Sonya selalu menampakan wajah penasaran. Dia seperti pernah ketemu dengan Gildan sebelumnya. Reuben juga tidak menyinggung bagian dia berkelahi, karena itu akan jadi masalah kalau sampai sang Mama mengingatnya.
Sebab kedua orang tua mereka hanya saling bertemu sekali saat di sekolah. Menjenguk anak masing-masing di rumah sakit yang sama. Sonya sempat sekilas melihat Gildan yang saat itu terbaring koma, namun hanya sekali saja setelah itu tidak pernah lagi.
Karena mereka membuat kesepakatan untuk melupakan kejadian tersebut. Tidak ingin berbuntut panjang dan lebih pasrah dengan apa yang sudah terjadi.
"Tante kaya familiar sama wajah kamu."
Gildan lebih terlihat tenang menanggapi dibanding Reuben yang sangat gugup. "Muka saya emang pasaran, Tan." Kekehnya.
"Ah, bisa aja kamu. Orang ganteng begini juga." Sonya suka dengan karakter Gildan yanh mudah diajak berbicara. "Tapi serius deh, apa kita pernah ketemu ya, Nak?"
"Kayaknya pernah." Sontak sautan Gildan itu membuat Reuben menoleh.
Jika saja Reuben tidak berusaha baik untuk mempersilakan Gildan mampir, pasti dia tidak perlu merasa tegang begini. Seharusnya dia menghindari Sonya untuk bertemu dengannya.
Kalau sampai Sonya tau soal Gildan, dia sangat yakin kemarahan tidak dapat dihindarkan. Mau sebagaimana pun para orang tua melupakan kejadian itu, pasti akan tersimpan rasa tidak suka.
Dan Reuben tidak mau jika Sonya memintanya untuk tidak lagi bergaul dengan Gildan. Karena saat ini dia ingin memperbaiki pertemanannya yang rusak dengan pria itu.
"Dalam mimpi mungkin." Lanjut Gildan dengan candaannya.
Reuben menghela napas lega. Pikirannya tentang makan malam yang akan berakhir buruk tidak terjadi.
Sungguh, Gildan memang paling suka melihat orang kesal, panik dan menderita. Seakan itu bagai gizi tambahan untuk tubuhnya.
Tapi sejak dulu Reuben tidak pernah benar-benar membencinya, begitu pun sebaliknya. Mereka berdua seperti ditakdirkan untuk saling bertengkar sebagai bentuk pertemanan yang tidak wajar.
Karena kita bisa lihat sendiri, ketika mereka sedang akur seperti sekarang. Orang tidak akan tau bahwa mereka adalah rival di masa lalu, bahkan mungkin sampai sekarang.
"Gue udah mau lempar garpu ke kepala lo tadi." Ucap Reuben sembari menutup pintu kamarnya. "Jangan suka becanda gitulah. Kalo sampe Nyokap gue tau, dia pasti bakal marah banget dan gak ijinin lo kesini lagi."
"Emang lo pengen gue kesini terus?"
Reuben jadi tergagap sendiri. "Hah? Bu- bukan itu maksud gue. Ya, kita kan- kita gak tau lo bakal kesini lagi apa nggak. Siapa tau lo butuh gue- maksudnya butuh dalam hal pelajaran atau apa dan mengharuskan lo ke rumah."
Gildan sesuka hati duduk di meja belajar tanpa memperdulikan barang yang tertata disana jadi jatuh berantakan. "Gue gak tau lo jadi susah ngomong sekarang."
"Pertanyaan lo itu ambigu tadi. Bikin gue jadi mikir aneh, lagian ngapain juga gue minta lo kesini mulu."
"Nah, itu lo yang ngomong, bukan gue." Gildan memutarkan semua perkataan Reuben hingga membuatnya bingung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Candala [2]
Teen FictionSatu tahun begitu mencekik hatinya. Meremas perasaan yang sedang bergejolak karena rasa cinta. Perpisahan dengan jarak dan waktu sebagai penghalangnya, kini terlawati sudah. Namun harapannya hanya angan belaka ketika kenyataan berkata lain. Tidak a...