Pertemuan pagi itu bukanlah waktu yang tepat. Kerena keduanya masih dengan perasaan yang bergejolak dan pemikiran yang pendek, maka yang terjadi hanya pertengkaran saja.
Tidak ada keuntungan, malah semakin memperluas kemarahan Reuben yang memang butuh sendiri.
Ben tau dia salah, namun tidak mudah juga untuk memperbaiki. Apa yang diinginkannya adalah kembali seperti dulu, secepatnya. Tapi tidak ada jalan yang mudah menuju kebaikan. Semua butuh proses dan itu memang sulit.
"Di awal kita ketemu lagi, dia pengen tau gue kemana selama ini. Cuma gue gak bisa jelasin, karena emang posisinya gue masih kaget dia pulang dan ada di depan kamar kos."
Timur meletakan sikunya di meja bar, mendengar cerita Ben dengan wajah bosan. Setahun dan masih sama, harus mendengar keluhan sahabatnya ini.
"Terus pas besok gue dateng ke rumahnya, dia malah kaya ngehindar. Katanya nenangin diri dululah, gak mau ketemu gue, jernihin pikiran, banyak banget alesannya."
Tepukan di bahu Ben membuat dirinya menoleh dan berhenti berbicara. Karena sekarang saatnya Timur membuka suara.
"Mungkin dia takut denger pengakuan lo, makanya butuh siapin mental dulu."
"Gue sama Aila juga gak ada apa-apa, Tim."
"Mata gue gak buta ya, Ben. Dua bulan lo gak ngehubungin Reuben dan tiba-tiba gue liat tuh perempuan ada di kosan lo."
Ben mendecak. "Sekali doang, itu juga ngerjain tugas. Negatif mulu lo ya, kalo sama gue."
"Heh, tetangga kosan lo yang kasih tau gue tiap minggu Aila dateng. Lagian tugas apaan yang main peluk-peluk di atas kasur, emang gue segoblok apa sampe gak nyadar?"
"Aila emang sering nginep karena gak gue ijinin dia balik tengah malem, emang gue gila biarin anak perawan pulang jam segitu."
"Tai perawan, udah jebol sama lo juga." Desis Timur. "Lagian emang lo siap kalo Reuben tau Aila siapa dan ada hubungan apa sama lo?"
Aila, teman kuliah Ben yang memang dekat sejak mendapatkan kelas yang sama dan satu kelompok tugas. Kenal baik juga dengan Jamal dan Parsa—dua teman Ben yang waktu itu ingin mampir ke kosan, tapi tidak jadi karena ada Reuben.
Jamal pria keturunan timur tengah yang selalu menceramahi Ben ketika dia berbuat salah. Bahkan ketika tau bahwa temannya 'melenceng' mulutnya berkoar tanpa henti sampai dia menyebutkan hukuman apa yang akan diterima pada saat dia mati nanti.
Sementara Parsa, nama sebenarnya adalah Farsa tapi agak ribet untuk diucapkan oleh orang-orang. Dia adalah pria yang mengikuti arus, kemana pun temannya mengajak pergi dia akan selalu ikut. Tetangga dari Timur ini juga selalu rajin membawa buku diary miliknya kemana pun.
Sampai dirinya sempat dituding sama melencengnya dengan Ben. Namun dia berkilah dan mengaku masih normal.
"Sumpah gak cuma perempuan, kan yang punya diary? Emang laki gak boleh?" Pembelaannya saat itu.
"Ya gak masalah, cuma emang harus dibawa tiap hari? Lagi ini udah jaman modern, masih aja katro sih ente. Tulis aja di notebook gitu." Jamal tetap menyerangnya.
Ben pun turut berbicara. "Gue aja yang homo gak sampe punya begituan."
Di tengah pembicaraan mereka, Jamal dan Parsa muncul dengan gayanya yang sok keren. Setiap mereka datang kesini, selalu saja rapi dan wangi. Katanya ingin menarik perhatian pelanggan, tapi sampai sekarang tidak berhasil.
Parsa yang memakai kacamata minusnya melirik ke arah perempuan yang dilewatinya. Lalu tersenyum sok sembari mengedipkan matanya. Bukannya tertarik, perempuan tersebut malah lari dengan wajah takut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Candala [2]
Novela JuvenilSatu tahun begitu mencekik hatinya. Meremas perasaan yang sedang bergejolak karena rasa cinta. Perpisahan dengan jarak dan waktu sebagai penghalangnya, kini terlawati sudah. Namun harapannya hanya angan belaka ketika kenyataan berkata lain. Tidak a...