Suara ketukan pintu yang begitu keras mengalahkan sambaran petir yang menggema. Membuat rumah sederhana dengan satu penghuninya merasa terusik dikala tidurnya baru memasuki tahap nyenyak.
Gildan memang tinggal sendiri, karena Ibunya sedang pergi ke luar kota. Menjaga Nenek yang sedang sakit keras dan butuh perhatian.
Pintu terbuka dan menampilkan Reuben yang basah kuyup terkena air hujan. Tubuhnya sedikit gemetar karena hawa dingin menggerayanginya.
"Kenapa ujan-ujanan?" Gildan yang tadinya memasang wajah suntuk karena tidurnya tergangggu, berubah menjadi khawatir karena melihat tampilan Reuben yang mengenaskan.
"Bo- boleh numpang man- mani?"
"Hah? Mani?" Gildan mengerjapkan mata.
"Mandi! Go- goblok."
Gildan menyuruhnya masuk, membiarkan tetesan air di tubuhnya membasahi seisi rumah. Handuk diberikan untuk mengeringkan kepala Reuben, sekedar menghilangkan rasa dingin.
Sempat Ben menawarkan untuk mengantarkannya ke rumah Gildan. Namun Reuben menolak dengan alasan tidak ingin merepotkan. Jadi dia pergi menggunakan taksi dengan cepat agar tidak dipaksa untuk diantar.
Berhubung rumah Gildan berada di jalan yang tidak terlalu besar dan cukup repot untuk dilintasi mobil, jadi Reuben berhenti tepat di depan jalan masuk tersebut. Dia berlari dengan nekat disaat hujan sedang deras.
"Gue bikinin teh, lo mandi. Nanti pake baju gue aja." Gildan berlalu meninggalkan kamar.
Sementara Reuben memperhatikan seisi ruangan ini, sebelum dia masuk ke kamar mandi. Ada tempelan poster dari band-band rock terkenal, seperti Queen dan Rolling Stone. Selera musik yang memang tua namun tidak termakan zaman.
Warna yang didominasi abu-abu gelap ini justru memberikan ketenangan walau suasana terasa remang karena hanya lampu kecil yang menyala di atas meja samping kasur. Tidak begitu besar, tapi nyaman untuk ditiduri.
Juga ada satu single bed yang mungkin hanya cukup untuk satu orang. Lemari dengan dua pintu dan meja belajar yang tidak ada satu pun buku disana. Hanya ada laptop serta majalah dewasa dengan cover wanita berbikini.
"Belom mandi lo?" Gildan masuk membawa segelas teh hangat yang masih mengepulkan asap.
"Ada yang harus gue omongin."
"Mandi dulu, baru ngomong." Gildan mendorong punggung Reuben namun pria itu menahan tubuhnya sendiri agar tidak bergerak.
"Ini penting!"
"Apaan? Lo bisa masuk angin nanti."
Reuben menghela napasnya, menghalau tangan Gildan yang masih berusaha menyuruhnya mandi.
"Lo pernah bilang gak akan biarin gue disakitin siapa pun." Degupan jantung Gildan mulai berdetak tidak normal saat Reuben mulai merubah intonasi suaranya menjadi serius. "Ben nyakitin gue, dia dan Aila udah berbuat lebih jauh."
"Aila?"
"Cewek yang pernah lo liat di mobilnya dia." Reuben memang sudah menyiapkan hatinya saat kemungkinan terburuk terjadi, namun tetap saja saat Ben sudah jujur, perasaannya seperti tergores dengan luka. "Tapi gue gak bisa marah sama dia, gue sayang Ben dan gak tau kenapa sakitnya gak separah yang gue bayangin."
"Lo tau Ben selingkuh, lo tau Ben brengsek dan lo tau dia laki-laki yang gak bisa dipegang omongannya. Tapi lo masih nahan itu semua?"
"Karena dia sengaja nunggu untuk cerita sampe gue bener-bener bisa nerima itu dan faktanya itu berhasil. Meskipun gak sepenuhnya gue terima kesalahan dia, tapi ini cuma sakit yang gue rasain sesaat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Candala [2]
Teen FictionSatu tahun begitu mencekik hatinya. Meremas perasaan yang sedang bergejolak karena rasa cinta. Perpisahan dengan jarak dan waktu sebagai penghalangnya, kini terlawati sudah. Namun harapannya hanya angan belaka ketika kenyataan berkata lain. Tidak a...