Perkelahian

9.6K 1.4K 270
                                    

Jika ada manusia terakhir di bumi yang bisa ditemui Reuben, tidak akan pernah terpikirkan sekali pun di kepalanya untuk menemui pria yang kini sedang menaiki kakinya ke meja.

Karena urutan pertama dari daftar manusia yang paling dibenci oleh Reuben adalah sosok Gildan dengan wajah menantangnya.

Tubuhnya tidak lebih besar dari Ben namun memiliki lengan yang lebih berbentuk, kulitnya coklat eksotis namun itu menjadi satu daya pikat bagi para perempuan. Rahangnya tegas dengan pipi tirus dan rambutnya menutupi setengah keningnya.

Tingginya sama dengan Reuben, mungkin hanya beda sekian senti, tapi kelakuannya sangat buruk. Sifatnya yang selalu merasa menang dan memandang orang lain lebih lemah darinya adalah poin yang perlu digaris bawahi.

"Lo gak lulus?" Tanya Gildan yang berada di belakangnya. "Gak berubah ternyata."

Sebisa mungkin Reuben tidak ingin membalikkan badannya dan menghajar pria yang sudah menghancurkan hidup damainya.

"Gue masih gak nyangka bisa ketemu lo disini." Gildan berujar lagi. "Mungkin takdir emang pengen kita ketemu lagi."

Telinga Reuben berusaha untuk mengabaikan suara itu namun sulit untuk sekedar tidak memperdulikan. Karena setiap kata yang keluar dari mulut Gildan selalu bisa memancing emosinya.

Dan Reuben tidak ingin mengulang kembali masa-masa dimana dia menjadi preman sekolah. Berkelahi setiap hari, membuat keributan atau menanggapi anak seperti Gildan yang hanya bisa membuatnya marah tidak terkendali.

"Atau jangan-jangan lo tau gue bakal sekolah disini dan lo ngikutin, iya kan?" Gildan masih saja berceloteh.

Lagipula untuk apa Reuben mengikuti pria yang justru ingin dihindarinya? Dia masih waras untuk menjauh dari manusia bernama Gildan ini.

"Lo bisu sekarang? Apa budek?" Selama guru masih belum masuk, pasti Gildan masih berbicara.

Kesalahan Anto jika dia meninggalkan kelas ini tanpa ada guru. Karena siapa pun murid yang masuk kesini, entah kenapa selalu membuat kegaduhan yang luar biasa dibanding kelas yang lainnya.

Sepertinya memang ada mantra buruk yang ditempelkan ke ruangan ini sehingga murid selalu tergoda untuk membuat onar hingga membuat wali kelas merasa sial karena ditempatkan di tempat paling kramat di sekolah.

Gildan menurunkan kakinya, memajukan tubuhnya hingga kepalanya berada di sisi kepala Reuben yang sedang melihat ke depan.

"Liat apaan sih? Dari tadi gue kaya ngomong sama pantat ayam, didiemin aja." Gildan memang tipe orang yang semakin jadi jika orang tersebut tidak memberontak dan akan semakin gila jika melawan. Jadi pilihan manapun akan salah.

Tangannya pun bergerak menyentuh bahu Reuben, meremasnya pelan. "Jadi sekarang bukan cuma otak lo yang bermasalah? Tapi mulut sama telinga juga gak berfungsi?"

Reuben sudah mengepalkan tangannya di meja, bahkan sejak batang hidung Gildan muncul. Dia tidak bisa melihat pria yang sudah meninggalkan penyakit padanya. Karena sekali saja mata mereka bertemu, Reuben akan melakukan apapun untuk melenyapkannya.

"Koma selama sebulan adalah sebuah keberuntungan buat gue. Dibanding dengan lo yang harus menderita seumur hidup." Kekehnya di akhir kalimat. "Oh, apa sekarang udah sembuh? Lo, kan kaya pasti gampang buat berobat."

Masih dengan keterdiamanya, Reuben berusaha untuk tidak menganggap bahwa ada setan yang mengganggunya saat ini.

Tangan Gildan yang berada di bahunya berangsur turun ke punggung. Jemarinya menyentuh halus pada garis tulangnya. "Gimana sama bekas luka cacat lo ini?"

Candala [2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang