6

26 0 0
                                    

Berdiri di bibir pintu, Fira mengedarkan pandangannya keseluruh penjuru. Fandy dimana ya? Kok gak ada. Kalimat itulah yang melintas didalam kepalanya. Ia melangkah terus kedalam, tidak menutup kemungkinan tubuh mungil Fandy tertutup badan-badan besar disekelilingnya.

Sambil melangkah kepala Fira celingak-celinguk kesana kemari. Namun Fandy tak kunjung dilihatnya​. Orang tua Fandy juga tak kelihatan. Kemana mereka?

Fira terus melangkah. Kini posisinya sudah berada jauh dari pintu masuk tadi. Dan sekarang ada pintu lain dihadapannya​. Pintu dengan gambar seorang laki-laki dan bertuliskan 'male'.

Saat jemarinya menggapai 'handle' pintu, saat itu juga seseorang menarik lengan satunya. Fira berpaling melihat siapa orang itu. Dan ternyata...

"Ayah." Fira berseru.

"Kamu mau ngapain?"

"Cari Fandy yah."

"Tapi itukan toilet laki-laki Fira. Kamu gak boleh masuk kesana."

Fira diam sejenak. "Fira kan masih kecil yah, gak papa kok." Ujarnya.

Martin tersenyum dan menggeleng pelan. "Tetap aja sayang. Kamu gak boleh masuk."

"Kalau ayah yang masuk gimana? Kan ayah laki-laki juga."

Martin terpaku, namun kepalanya tetap bergerak naik-turun​.

Selang beberapa waktu Martin kembali keluar dari kamar kecil itu.

"Gimana yah?" Dan Martin kembali menggeleng menanggapi. Melihat respon sang ayah, Fira menjadi sedih. Bibirnya ia katupkan dan kepalanya ia tundukkan. Sedangkan Martin hanya bisa pasrah memandangi anaknya itu.

Dilain sisi, Syerlin terengah-engah mengejar puteranya. Entah kemana puteranya itu menghilang. Ia sudah mencari kemana-mana, namun belum juga berjumpa. Sampai akhirnya ia memutuskan menghubungi suaminya untuk membantu. Dalam sekejap tibalah Tomi--papa Fandy alias suami Syerlin, di lokasi yang diberi tahu Syerlin.

"Kok bisa ilang?" Tanya Tomi saat tiba di lokasi.

"Fandy larinya kencang banget. Dan mamah ngejar-ngejar pakai high heels, mana terkejar​ sih pah." Setelah itu terdengar hembusan nafas panjang dari Tomi.

Bagai mencari sebatang jarum ditumpukkan jerami, namun mereka tidak menyerah. Ya, mana mungkin mereka menyerah begitu saja saat anak semata wayangnya belum ditemukan di keramaian begini. Jangan sampai hal buruk terjadi pada Fandy.

"Bisa ketinggalan pesawat kita kalau gini." Geram Tomi tiba-tiba.

"Iih papah, papah lebih mentingin tiket pesawat yang gak seberapa ketimbang Fandy? Tiket pesawat kita bisa beli lagi pah. Lah kalau Fandy--?"

"Ya kita bisa buat lagi." Jawab Tomi asal-asalan. Mendengar itu perasaan Syerlin jadi campur aduk. Ada rasa kesal dan malu menjadi satu. Bayangkan saja.

Alhasil terciptalah suasana canggung diantara Tomi dan Syerlin. Bagaikan pasangan sejoli muda yang lagi kasmaran mereka berjalan dalam keheningan. Sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.

Tomi dan Syerlin terus berjalan dalam keheningan. Mereka menelusuri liku-liku bandara hingga tiba disuatu tempat. Entah dimana posisinya seperti berada di bagian belakang. Karena jaraknya cukup jauh dari ruang tunggu tadi.

Tak jauh didepan mereka, ada seorang anak laki-laki yang asik membelai kucing dengan tangannya.

"Itu Fandy bukan pah?" Celetuk Syerlin sambil menunjuk sang anak dengan telunjuknya.

"Ndak tau juga ya. Tapi, dilihat dari dari model-modelnya​ iya."

"Model apaan sih pah? Papah kira Fandy itu mobil-mobilan yang ada modelnya." Syerlin mendengus. "Fandy!" Seru Syerlin memanggil sosok didepannya.

Pain of Fira (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang