14

14 0 0
                                    

Hiks...hiks...hiks...

Suara isakan tangis memenuhi lorong rumah sakit itu. Isakan dan ratapan yang ditujukan untuk seseorang yang tengah berjuang di dalam sebuah kamar yang bertuliskan UGD. Tidak ada yang tau bagaimana tragedi itu terjadi. Tetapi saat tiba berita itu ke rumah, saat itulah mereka bergegas ke rumah sakit.

Fira dan Via, tengah menunggu hasil pemeriksaan yang dilakukan dokter terhadap Naya. Benar, Naya lah yang berjuang di dalam ruangan UGD tersebut. Berjuang antara hidup dan matinya.

Saat bermain sepeda seorang diri, Naya di tabrak sebuah truk yang melintas. Memang Naya ingin bermain sepeda di lapangan luas yang jaraknya cukup jauh dari rumah. Dan untuk sampai ke lapangan itu, harus melewati jalan tol. Dan di jalan tol itulah tragedi malang itu terjadi.

Saat Naya melintas hendak menyeberang jalan, saat itulah sebuah truk menghantam nya dengan sangat keras. Naya terlepas dari sepedanya​. Mereka sama-sama melayang hingga tiba di trotoar jalan. Seketika Naya yang tidak berdaya dikerubungi banyak orang. Beberapa dari orang-orang itu mengubungi ambulans, dan beberapa orang lainnya mengubungi keluarga Naya.

Sudah tiga jam lamanya. Namun belum seorang petugas pun yang keluar dari ruangan​ itu. Fira dan Via yang menunggu menjadi harap-harap​ cemas.

Yaudah kalau kakak gak mau temani aku, aku pergi sendiri aja. Dadaah...

Tiba-tiba Fira mengingat saat-saat Naya berpamitan padanya. Di dalam benak Fira juga terlintas bayangan saat Naya berbalik dan melambaikan tangan padanya. Oh tidak, perasaan Fira jadi tidak enak. Apakah ini pertanda?

"Bu..." Fira melirih. Via yang juga terguncang hanya diam tanpa menjawab. "Naya baik-baik ajakan Bu? Naya, pasti sembuhkan Bu? Naya... Gak bakal pergi ninggalin kita kan Bu?" Air mata Fira yang belum berhenti kembali mengucur deras. Ia menangis tanpa suara.

Via yang terguncang, menegang di tempat saat mengingat ucapan Naya waktu itu.

Besok kelamaan Bu. Iya kalau besok aku masih hidup. Kalau gak?

"Apa itu pertanda ya?"

Fira yang mendengar monolog Via langsung menoleh ke arah ibunya itu. "Pertanda apa Bu?"

Via menoleh ke Fira sejenak, lalu beralih memandang lurus ke depan. Lihatlah, mata ibu dua orang itu sudah sembab karena terlalu lama menangis. Sama seperti anak sulungnya, Fira.

"Sebelum Naya pergi bermain, dia ijin sama ibu. Ibu udah ngelarang dia, tapi dia terus memaksa." Via diam sejenak menghapus bulir air matanya. Dan Fira menanti dengan rasa penasaran. "Sepertinya, 'ini' permintaan terakhir Naya Fir." Air mata kembali meluruh.

"Maksud ibu apa? Permintaan terakhir? Jangan bilang, ibu berpikir Naya pergi ninggalin kita selamanya?"

"Tapi memang begitu adanya, Fir. Ibu merasa Naya akan pergi ninggalin kita." Via menutup mulutnya. Seolah mulutnya baru saja lepas kontrol.

Fira meraih lengan ibunya untuk ia genggam. "Bu, ibu bicara apa sih?"

Via diam beberapa saat, kemudian... "Maafkan ibu, Fir." Ia kembali​ diam beberapa lama. "Kamu benar. Tidak seharusnya ibu berpikir begitu. Harusnya kita berdoa untuk kesembuhan Naya." Hening lagi. "Tapi kalau Naya benaran pergi, ibu ikhlas Fir. Benar-benar​ ikhlas."

"Bu..." Fira menggeram.

Seseorang dengan seragam putih-putih keluar dari ruang tindakan. "Bagaimana kondisi adik saya?" Serbu Fira pada petugas kesehatan itu.

Petugas itu terlihat bingung, namun ia berupaya untuk menenangkan Fira. Karena memang itulah tugasnya--menenangkan keluarga pasien.

"Maaf ya mbak. Saya perawat disini. Tidak ada wewenang saya untuk menjelaskan kondisi pasien. Sebentar lagi dokter akan keluar. Mbak bisa tanyakan pada dokter." Fira diam melihat perawat itu menjauh pergi.

Pain of Fira (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang