20

8 0 0
                                    

Fandy diam mendengarkan cerita Martin. Dari yang ia tangkap, ternyata memang benar kalau nama adik Fira adalah Naya. Dan itu berarti, ia tidak salah dengar ataupun lupa nama. Lantas siapa wanita yang mirip dengan Naya itu?

"Jadi, anak perempuan yang di rumah Om itu?"

Sebenarnya Fandy ragu menanyakan hal itu. Karena mungkin saja itu sesuatu hal yang tidak perlu ia tau. Tapi, Fandy sudah terlanjur mengatakannya. Dan itu semua karena rasa ingin tau yang sangat dalam.

Martin menatap dalam pada Fandy. "Namanya Maya, dia anak om juga." Jeda sejenak. "Dia ... kembaran Naya.

Deg

~

Tidak dapat dielakkan lagi, Fandy berteriak dengan mulut dan mata yang terbuka lebar.

"Maya? Kembaran Naya? Lelucon apa ini?"

"Ceritanya panjang Fan, kamu juga akan sulit memahaminya." Fandy masih diam. "Om sebenarnya juga tidak tau hal ini. Hanya sewaktu om dan tante pisah, nenek Fira bilang kalau om punya satu putri lagi. Dan Maya itulah orangnya."

Sesungguhnya Fandy masih tidak percaya. Ia ragu akan apa yang dinyatakan Martin. Namun jika diperhatikan lagi, Martin tidak berbohong. Itu murni mengalir dengan rasa kejujuran.

Fandy menarik kesimpulan, bahwa mungkin saja Maya itu sengaja disisihkan atau justru diculik  oleh sang nenek. Atau memang ... Ah entahlah, Fandy tidak punya hak untuk menduga-duga atau menilai apapun yang terjadi.

"Jadi dimana Fira Om?"

Martin mendengus kasar. "Om tidak tau Fan. Om sudah lost contact  sejak ... 5 bulan terakhir."

Fandy mengusap seluruh wajahnya. Secercah rasa khawatir melingkup dalam dirinya. Apa Fira baik-baik saja? Bagaimana jika Fira membutuhkan bantuannya sekarang?

"Om tidak mencarinya?"

"Sudah berulang kali om lakukan, namun hasilnya tetap nihil."

"Kemana Fira pergi Om?"

"Setau om dia pergi ke tempat neneknya, di Bogor. Tapi sekarang om tidak tau pasti." Martin diam sejenak. "Mungkin dia masih disana, dan mungkin juga tidak."

Rasanya Fandy ingin menyusul Fira ke Bogor, tapi akhir kalimat Martin justru membuatnya bimbang. Kemana ia harus mencari jika tidak ada kepastian seperti ini? Ditambah lagi ia tak punya banyak waktu, karena ia harus mengurus keperluan sekolahnya.

Niat utama Fandy kembali ke Indonesia adalah untuk berjumpa dengan Fira. Dan sekolah hanya menjadi alasan semata agar tujuannya tidak dicurigai. Dan sekarang Fandy terkena batunya. Fira tidak bertemu dan sekolah yang harus ia lanjutkan.

Kalau ditanyakan, mungkin Fandy lebih memilih kembali ke Amsterdam dan ikut orang tuanya ke Maastricht. Tapi itu tidak akan bisa, karena ia sudah berjanji tidak akan berbalik apapun yang terjadi. Sampai orang tuanya kembali ke Indonesia.

Fandy berbalik dan kembali ke kamarnya saat setelah Martin berlalu. Di kamar Fandy kembali merenung, membayangkan kenangan masa kecilnya bersama Fira. Sungguh ia merindukan masa-masa itu.

"Fira, kamu dimana? Kenapa kamu pergi? Kenapa kamu gak nunggu aku pulang?" Fandy memasang wajah sendu. Sekelabat bayangan saat Fira meyakinkan Fandy kembali terbayang. Saat dimana Fira mengucapkan sesuatu yang menjadi alasan dirinya kembali.

"Mana janji kamu yang akan nunggu aku pulang? Aku udah pulang Fir, dimana kamu?"

Semakin lama mengeluh, emosi yang dirasakan Fandy semakin tak terkendali. Sesekali ia berteriak dengan suara yang ia tahan.

Pain of Fira (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang