2. Masih Mau Kehilangan?

50.7K 7.1K 153
                                    

Niat Ibu untuk menemui Mas Damar tertunda lagi karena Diana tiba-tiba masuk ke dalam kamar dengan membawa Viana yang menangis. Gadis kecilku itu sudah bangun rupanya.

"Nyariin Mbak nih," ujar Diana seraya menyerahkan Viana padaku. Aku hanya tertawa kemudian membawa Viana duduk di atas pangkuanku.

"Ibu makan?! Ya ampun alhamdulillah!" seru Diana takjub yang langsung mendapat lirikan tak suka dari Ibu.

"Apa sih kamu, Na, heboh bener kayak gak pernah lihat Ibu makan aja," omelnya membuat Diana terkekeh. Diana melirikku kemudian mengacungkan ibu jarinya yang kubalas dengan anggukkan.

"Kita gak salah pilih ya, Bu?" ujar Diana lagi. Kali ini tatapan matanya dan tatapan mata Ibu mengarah padaku. Membuatku jadi salah tingkah.

"Iya, biar udah tua begini Ibu cuma rabun jauh aja, tapi masih bisa bedain mana mutiara mana kelereng."

Diana langsung tertawa. "Jadi keinget si Mbak Tahu Bulat ya, Bu?" tanya Diana. Aku mengerutkan dahi menatapnya. Mbak Tahu Bulat? Penjual tahu bulat kah maksudnya?

"Iya. Penampilan dan sikapnya itu... aduuhhh ampun Ibu mah gak kuat," sahut Ibu. Ia pun ikut tertawa meski tawanya tak seheboh Diana.

"Sekretaris kliennya Bapak, Mbak. Cewek." Di sela-sela tawanya Diana mulai menjelaskan. Sepertinya ia menangkap raut bingung di wajahku.

"Terus Mas Damar yang nanganin project sama dia kan dulu. Sering ketemu lah ya jadinya namanya dia sekretaris yang sering ikut bosnya." Hmm, aku rasa aku sudah mulai bisa menebak apa yang dilakukan wanita itu.

"Ganjen banget Mbak ya ampun. Sok-sokan mau ngegebet Mas Damar. Terus pas almarhumah Mbak Vivi meninggal, dia datang kesini. Katanya sih mau ucapin bela sungkawa, tapi dari gesturenya juga kita tahu dia mau cari muka. Ngapain juga gitu kan project kerja sama udah selesai dari lama tapi masih sok-sok ngehubungin?" Aku tertawa kecil saat Diana menggedikkan bahunya. Seolah dia merinding membayangkan tingkah laku wanita itu.

By the way, aku jadi keinget juga sama si Mbak Annabelle yang kutemui waktu dulu. Kalau dilihat dari gelagatnya sih, dia juga naksir sama Mas Damar. Kayaknya Mas Damar bener deh waktu dia bilang yang antre mau dinikahin sama dia itu banyak, tapi dia memilihku diantara semua pilihan yang ada. Jadi, pernikahanku dan Mas Damar ini sudah mematahkan hati berapa banyak orang ya kira-kira? Pingin kubikinin klub khusus biar mereka bisa saling sharing hahaha.

"Kamu ini, Na, kalau gak suka sama orang suka keterlaluan," ujar Ibu. Tapi dari kata-katanya tidak mencerminkan kalau ia memprotes tindakan putrinya itu. "Kamu tahu gak, May, apa yang bikin perempuan itu kapok kesini lagi?" tanya Ibu kemudian padaku.

Aku menggeleng. "Apa memangnya, Bu?"

"Itu si Diana bilang gini di depan dia. 'Maaf ya, Mbak. Mas saya itu biasa mainan saham bukan bayam. Dia tahu mana barang mahal, mana barang murah. Selera dia juga tinggi. Dia masih bisa bedain mana Gigi Hadid mana Elly Sugigi' parah kan? Ibu sih gak ikut-ikutan deh."

Aku langsung tergelak mendengarnya. Gak heran kalau Diana bisa ngomong gitu soalnya aku tahu Diana itu tipikal yang kalau urusan ngeledek orang yang menurutnya 'gak banget' itu mulut dia bisa lebih sadis dari lagunya Afghan. Kayak aku juga sih hehehe.

"Terus kenapa namanya Mbak Tahu Bulat deh, Na? Dia punya bisnis tahu bulat?" tanyaku. Aku masih penasaran dengan yang satu itu.

"Mbak tahu kan berapa harganya tahu bulat?" tanyanya balik.

Aku mengangguk. Kalau belum naik sih masih lima ratus rupiah, tapi aku gak tahu juga. Belum pernah beli. Cuma sering lihat dari social media karena slogannya yang viral itu.

"Murah atau mahal, Mbak?"

"Murah sih." Masih kejangkau kantong anak SD soalnya. Gak sampai jual tanah juga buat ngebelinya.

"Nah karena itu."

Astaghfirullah! Aku langsung tertawa dan geleng-geleng kepala. Mulut Diana lebih sadis dari lagunya Afghan ternyata. Lebih parah dari aku juga. Kalau kata Bang Haji Rhoma sih, ter-la-lu!

"Aku keluar dulu ya mau nyiapin makan buat Viana," pamitku pada Ibu. Aku menghapus jejak-jejak air mata karena kebanyakan tertawa tadi, kemudian aku beranjak keluar dari kamar ibu setelah sebelumnya meminta Diana untuk memastikan agar Ibu menghabiskan makanannya.

Aku kembali ke kamar Mas Damar untuk mengambil tas khusus perlengkapan Viana dan mengeluarkan kotak dus berisi biskuit bayi serta slaber─alas makan─ Viana lalu membawanya ke dapur.

Di dapur, aku bertemu Mas Damar yang tengah mencuci tangannya. Ia kemudian melangkah menghampiriku. "Mau bikin makanan Viana ya?" tanyanya dan aku mengangguk. Dengan inisiatif ia kemudian mengambil Viana dari gendonganku untuk memudahkanku membuat makanan.

"Aidan mana, May?" tanyanya lagi.

"Tadi diajak sama Tante Afifah. Emang gak ketemu?" tanyaku balik. Tanganku tengah mengaduk rendaman biskuit bayi rasa jeruk di air hangat dalam mangkuk kecil.

"Oh, paling diajak ke minimarket kalau sama Tante Afifah."

Setelah biskuit dan air tercampur merata dan teksturnya tidak terlalu kental juga tidak terlalu encer, aku kembali menghampiri Mas Damar. Memasangkan slaber di leher Viana, lalu hendak mengambil Viana dari gendongan Mas Damar untuk kuajak makan.

"Makan disini aja, May. Biar Mas yang pegangin Viana." sergah Mas Damar. Ia kemudian berjalan menuju meja dan bangku kecil di dapur lalu duduk disana. Aku lantas mengekor di belakangnya.

Sementara aku menyuapi Viana, Mas Damar asik mengajaknya ngobrol─yaa meski respon Viana hanya tertawa atau melonjak-lonjak di atas pangkuan Mas Damar.

"Mas," panggilku. Mas Damar yang sedari tadi mengajak Viana mengobrol pun mengalihkan tatapannya padaku.

"Kenapa?" tanyanya.

"Mas belum nemuin Ibu."

Begitu mendengar aku bicara begitu, Mas Damar langsung mengalihkan tatapannya lagi pada Viana. "Kan Mas udah bilang nanti," jawabnya dingin.

"Nantinya itu kapan, Mas?" tanyaku lagi dan Mas Damar tidak menjawab.

Aku menghela napas sesaat. Melepas slaber dari leher Viana dan membersihkan sisa-sisa makanan yang menempel di mulutnya.

"Aku gak membenarkan apa yang dilakukan Ibu, tapi menurutku Ibu punya alasan. Mas gak mau coba dengar penjelasan Ibu dulu?" Mas Damar masih diam. Hafal banget nih aku dia kalau udah diam aja begini pasti lagi mikir. Kayak waktu ngomongin soal Aidan masuk PAUD dulu.

Kuletakkan mangkuk kotor di wastafel dan memasukkan slaber bekas pakai Viana ke keranjang cucian. Setelahnya, kuambil Viana dari pangkuan Mas Damar. "Mas udah pernah kehilangan istri, Mas juga baru aja kehilangan adik. Apa Mas mau kehilangan Ibu juga?" tanyaku sarkas. Tanpa menunggu respon Mas Damar aku langsung berlalu meninggalkannya. Mungkin aku kejam─ralat, memang kejam─ tapi laki-laki kalau gak disentil langsung kadang suka ngeles mulu. Biarin aja dia mikir sendiri. Kesadaran itu memang harus tumbuh dari dalam diri sendiri.

***

To be continue

===================

Aku pusing deh masa kuota baru beli 9gb raib gitu aja sampai ke bonus-bonus neleponku juga raib huhuhu. Gak terima komplain kependekan yaa maaf lagi bete banget soalnya :(

Much love,

Asty K.

FIDELITY (Sequel Quandary) [Tersedia di PlayStore & Online Bookstore]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang