24. Mawar Kenangan

27.7K 4.1K 32
                                    

Sabtu ini aku akan pergi ziarah ke makam Mbak Vivi lalu pulangnya nyicil belanja buat hadiah doorprize sama Leo. Aku sudah meminta izin sama Mas Damar dan dia membolehkan aku pergi asalkan gak berdua doang sama Leo. Ada cewek lain juga gitu yang nemenin dan untungnya Leo bawa adik perempuannya. Gak tahu adik kandung atau adik-adikan, kita lihat aja nanti.

"Ma, titip anak-anak dulu ya," pamitku seraya mengenakan helm yang abang ojek berikan.

Mama mengangguk. "Hati-hati," pesannya. Ia juga menitipkan uang dari Papa untuk Pak Kasim─penjaga makam─ karena saat Papa kesana kemarin, dia tak sempat bertemu Pak Kasim.

Karena masih siang, jalanan cukup lancar meski agak terik. Usai membayar ongkos yang sudah tertera di aplikasi, aku berjalan memasuki TPU tempat Mbak Vivi dimakamkan. Letak makamnya berdekatan dengan makam almarhum kakek. Jadi aku bisa sekalian ziarah kesana juga.

Aku tersenyum mendapati makam Mbak Vivi yang bersih dan rapi. Diatasnya masih ada sisa kelopak-kelopak bunga. Sepertinya itu bekas Papa saat ziarah kemarin.

Aku duduk di samping nisan Mbak Vivi. "Assalamualaikum, Mbak," sapaku. Kemudian kuambil buku yasin dari dalam tasku lalu mulai membacakannya.

Ayat demi ayat yang kubacakan, membawaku kembali menerawang masa lalu saat kami bersama.

Ketika aku mulai mengenalnya sebagai seorang kakak.

Ketika kami mengenakan pakaian serupa.

Ketika ia menggantikan Mama datang ke sekolah.

Ketika aku menirunya membaca novel romansa.

Ketika kami bertengkar hingga menangis bersama

Ketika ia memintaku menjaga anak-anaknya.

Sampai ketika akhirnya aku harus mengikhlaskannya pergi selamanya.

Semua kenangan itu berputar dalam kepalaku bak sebuah film dokumenter.

فَسُبْحٰنَ الَّذِيْ بِيَدِهٖ مَلَـكُوْتُ كُلِّ شَيْءٍ وَّاِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ
fa sub-haanallazii biyadihii malakuutu kulli syai'iw wa ilaihi turja'uun

"Maka Maha Suci (Allah) yang di tangan-Nya kekuasaan atas segala sesuatu dan kepada-Nya kamu dikembalikan."

Hingga pada akhirnya aku terpikir. Suatu saat nanti, kehadiranku di dunia ini pun juga akan menjadi sebuah kenangan. Kelak ketika aku tiada, dengan cara apa orang akan mengingatku?

Kuambil kelopak-kelopak bunga dari kantong plastik yang kubeli dari penjual kembang di depan pintu masuk makam tadi dan menaburkannya di atas makam Mbak Vivi.

"Aidan dan Viana sehat, Mbak. Mama sama Papa juga sehat." Aku mulai berceloteh pada gundukan tanah berkeramik di hadapanku ini.

"Kalau ada apa-apa tuh bilang sama Mbak."

Aku masih ingat saat SMP aku sempat dibully oleh beberapa senior karena mereka merasa kehadiranku mengganggu keharmonisan hubungan mereka dengan kekasihnya atau bahkan menggulingkan popularitas mereka. Bullyan itu mulai dari verbal yang mengatakan aku cantik tapi munafik, sampai ke fisik seperti mereka dengan sengaja menabrakku saat kami berpapasan.

Mbak Vivi yang mengetahui hal itu dari temanku saat dia belajar bersamaku di rumah langsung menghubungi pihak sekolah dan meminta diadakannya pertemuan dengan orang tua mereka.

Di hari pertemuan, Mbak Vivi datang ke sekolah bersama Mama untuk bicara dengan orang tua mereka. Saat itu, untuk pertama kalinya aku merasa takjub karena mendapat pembelaan yang luar biasa dari Mbak Vivi. Dengan lantangnya Mbak Vivi bilang, "Ini bukan lagi masalah keluarga kami sakit hati atas tindakan anak-anak Ibu, tapi ini masalah mental anak Ibu yang gak bener. Miris, Bu, RA Kartini kalau tahu dia capek-capek memperjuangkan hak wanita untuk bisa mengenyam bangku pendidikan hingga para wanita sekarang dapat bersekolah sampai ke jenjang tinggi tapi anak Ibu yang sudah mendapat fasilitas pendidikan dengan baik malah bertingkah seperti orang yang tidak berpendidikan. Menjadi tinggi tidak perlu dengan menjatuhkan orang lain."

Tidak hanya memberi peringatan pada mereka, Mbak Vivi juga memarahiku. Dia bilang supaya aku tidak diam saja jika mendapat perlakuan seperti ini. Yang namanya kejahatan, mau sekecil apapun tetaplah kejahatan. Jangan menyembunyikannya dan melindungi pelakunya.

Sejak saat itu Mbak Vivi selalu mengecek keadaanku, memintaku menceritakan segala hal tentang apa saja yang kualami. Mengajakku berbagi opini atau pandangan dengannya.

Tadinya aku yang tipe pribadi tertutup ini merasa risih. Buatku, masalahku ya urusanku. Itu yang kupikirkan sampai Mbak Vivi mengajarkanku bahwa sharing dengan orang yang kita percaya itu rasanya luar biasa. Ada perasaan lega yang tak terdefinisikan. Hingga pada akhirnya, aku terbiasa menceritakan semua hal padanya. Aku terbiasa berkeluh kesah padanya. Menjadikan ia satu-satunya tempat terpercaya untukku berbagi rahasia dan segala rasa.

Namun sekarang, aku sudah tidak bisa lagi melakukannya seperti dulu. Tak ada lagi raut wajah kaget, tertawa, atau bahkan sebal saat mendengar ceritaku. Yang bisa kulihat saat ini hanyalah semen dingin yang berukir namanya.

Peringatan hari ulang tahun yang biasa kami rayakan bersama, kini hanya bisa kurayakan sendiri. Tukar kado yang biasa kami lakukan berdua kini tidak ada lagi.

Aku rindu, Mbak.

Kuhapus air mataku yang tiba-tiba saja sudah mengalir membasahi pipi. Aku tidak ingin menangis di hadapannya. Aku mau Mbak Vivi tenang disana. Aku ingin menjadi orang yang dia percaya untuk menjaga keluarga kami seperti halnya dulu aku mempercayainya untuk menjaga rahasia-rahasiaku. Aku ingin menjadi wanita kuat sepertinya.

Mbak, May janji akan menjaga keluarga kita.

"Neng Maydina?"

Aku menoleh saat mendengar namaku dipanggil. "Eh Pak Kasim." Aku kemudian bangkit seraya menghampirinya. "Apa kabar, Pak? Sehat?"

"Alhamdulillah Neng. Neng sendiri bagaimana? Rada gemukan kayaknya, lagi isi ya?"

Aku hanya bisa tersenyum mendengarnya. Ini sih kayaknya efek pipiku yang kebanyakan ngunyah jadinya kayak keran air yang lupa ditutup, alias luber. "Doain aja ya Pak," jawabku sekenanya. Aku kemudian merogoh tasku untuk mengambil amplop berisi uang yang tadi diberikan Mama. "Oh iya, Pak ini ada titipan dari Papa."

"Alhamdulillah, makasih ya Neng."

"Sama-sama. Pak, saya boleh minta tolong gak? Tolong kasih tanam bunga mawar di makam Mbak Vivi." Mbak Vivi sangat menyukai bunga mawar. Menurutnya, mawar itu adalah representasi dari seorang wanita. Meskipun cantik, tapi tak lantas menjadikannya mudah dicabut sembarangan. Begitupun halnya dengan wanita. Walaupun berparas cantik dan banyak disukai para pria, semestinya jangan sampai membuatnya jadi 'piala bergilir' yang mudah dicicipi begitu saja oleh para lelaki.

Meski Mbak Vivi kini tak ada lagi di dunia, setidaknya aku ingin menghiasi tempat peristirahatan terakhirnya dengan sesuatu yang ia sukai. Anggaplah ini sebagai hadiah ulang tahun dariku Mbak.

"Oh, iya, boleh Neng. Mau mawar jenis apa Neng?

"Apa aja, Pak, yang sekiranya bisa tumbuh di tanah sini." Aku kemudian mengeluarkan dompetku dan mengambil beberapa lembar uang untuk kuberikan pada Pak Kasim. "Ini uangnya, Pak."

"Siap, Neng, nanti saya carikan ya."

"Makasih banyak ya, Pak. Saya pamit dulu kalau gitu."

"Mangga, hati-hati Neng."

"Iya, Pak." Kutolehkan sekali lagi kepalaku ke makam Mbak Vivi sebelum pergi.

Mbak, aku pamit dulu ya. Nanti kapan-kapan aku ajak Aidan dan Viana kesini. Meski kini aku yang menjadi Bunda mereka, selamanya mereka tetaplah anak-anak Mbak.

***

To be continue

===================


Much love,

Asty K.

FIDELITY (Sequel Quandary) [Tersedia di PlayStore & Online Bookstore]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang