39. Bimbang

36K 4.5K 154
                                    

Hari ini aku beserta Mas Damar dan anak-anak mengunjungi rumah Ibu untuk menghadiri acara peringatan hari ulang tahun almarhum kakek Mas Damar dari pihak Ayah. Tidak hanya kami berempat, keluarga besar Mas Damar yang lainnya juga turut hadir sehingga suasana di rumah Ayah dan Ibu jadi semakin ramai.

"Viana makin lama dilihat makin mirip Mbak May deh."

Aku hanya tertawa ketika Hendri─sepupu Mas Damar─ berkata seperti itu saat aku sedang menatah Viana di teras. Hendri bukan orang pertama yang mengatakan hal itu, jadi aku sudah tidak heran lagi. Bahkan sejak masih bayi pun Viana sudah dibilang mirip aku oleh orang-orang, padahal wajah bayi kan masih bisa berubah-ubah. Tetapi sekian waktu berlalu sampai sekarang ketika usianya sudah memasuki tahun pertama, rupanya Viana tetap mempertahankan kemiripannya denganku.

Hendri yang semula duduk santai di kursi teras kemudian berjalan menghampiriku. "Mbak, boleh aku aja gak yang natih Viana?" pintanya.

Aku mengangguk seraya membiarkan Hendri menggantikanku memegangi Viana dan menuntunnya berjalan. Sementara itu aku beringsut istirahat di kursi teras. Pinggangku pegal juga kelamaan membungkuk mengimbangi langkah Viana yang maunya mondar-mandir terus.

Aku tersenyum melihat Hendri yang juga kelihatannya mulai kewalahan mengimbangi keaktifan Viana. Jika Hendri mengangkat tubuh Viana untuk digendong, Viana otomatis menggerak-gerakkan kakinya meminta turun dan berjalan.

"Sini, Dri, kalau capek gantian lagi sama Mbak," seruku.

Hendri menggelengkan kepalanya tanpa melepas pandangannya dari langkah Viana. "Gapapa, Mbak, olahraga," sahutnya.

Aku tertawa. Ah, waktu berjalan dengan cepat rupanya. Padahal rasanya baru kemarin Viana masih kugendong-gendong dengan kain bedung yang melingkupi seluruh tubuhnya tapi sekarang Viana bahkan sudah tidak betah lagi berdiam lama jika digendong.

Lamunanku terhenti saat ada usapan lembut yang menyapa puncak kepalaku bersamaan dengan sosok Mas Damar yang menduduki sisi kosong di sebelahku. "Aidannya mana, Mas?" tanyaku padanya sebab tadi waktu kutinggal ke teras Aidan lagi main sama Sion dan kuminta Mas Damar mengawasi mereka.

"Tepar dia kecapekan main. Sekarang lagi tidur di kamar," jawab Mas Damar. Aku membulatkan mulutku membentuk huruf O seraya mengangguk-anggukkan kepalaku.

Mas Damar kemudian beralih menatap Viana dan Hendri. Ia tersenyum melihat Hendri yang terlihat antusias mengiringi langkah Viana. "Bikin dong, Dri. Udah cocok lu jadi bapak," seru Mas Damar meledek Hendri.

Hendri mencibir seraya menuntun Viana ke arah kami. Sudah mulai pegal juga dia kayaknya. "Ijazah dulu lah, Mas, baru ijab sah. Jodoh aja belum kelihatan."

Mas Damar tertawa kemudian mengambil Viana dari Hendri lalu memangkunya. "Kalau belum kelihatan, ya dicari, Dri. Mana tahu ketutupan."

Hendri mengangkat kedua bahunya bersamaan kemudian menduduki tempat duduknya tadi─berhadapan dengan Mas Damar. "Kaku gue, Mas, kalau ngomong sama cewek," keluhnya.

Mas Damar memasang tampang prihatin seraya memajukan sedikit posisi duduknya. Tangannya terulur untuk menepuk-nepuk bahu Hendri. "Tenang, Dri, Mas ajarin," ujarnya menawarkan diri.

Aku menyipitkan mataku melirik ke arah Mas Damar. Mau ngedoktrin ajaran sesat macam apa nih orang?

"Lu kalau ketemu cewek yang menarik gitu di mata lu tapi lu belum kenal sama dia, langsung aja lu tepuk pundaknya terus asal sebut nama, misal 'Mbak Joko ya?' gitu."

Begitu mendengar idenya, aku langsung bereaksi menyenggol lengan Mas Damar. "Mana ada, Mas, cewek namanya Joko," protesku.

"Nah, justru itu!" seru Mas Damar. "Kan pasti dia bakal nyangkal tuh. Kalau dia udah nyangkal, ntar lu bilang 'oh, maaf ya saya kirain kenalan saya. Karena kita berdua belum saling kenal, boleh kenalan gak?' gitu, Dri."

FIDELITY (Sequel Quandary) [Tersedia di PlayStore & Online Bookstore]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang