1. Hidup Baru

66.8K 7.5K 201
                                    

Aku masih sulit percaya kalau kini statusku adalah istri dari Mas Damar. Seseorang yang sama sekali tidak pernah masuk dalam daftar calon suamiku, tapi nyatanya justru saat ini dia lah yang menjadi kekasih halalku.

Jika status kami telah berubah, perlukah sikapku pada Mas Damar juga ikut berubah? Dengan menjadi lebih lemah lembut gitu misalnya? Atau memanggilnya dengan panggilan sayang seperti 'suamiku' atau 'My lovely husband'?

Aku menggelengkan kepalaku. Membayangkannya saja sudah membuatku bergidik ngeri. Mana bisa aku berlagak gemulai seperti itu. Lagian panggilan manis-manis kayak gitu paling cuma bertahan di awal-awal pernikahan. Lima tahun setelahnya pasti berubah lagi. Kayak salah satu rekan kerjaku di kantor lama yang menamai kontak istrinya dengan 'Satpol PP' karena katanya sih istrinya itu kalau berantem ancemannya ngusir-ngusir kayak satpol PP yang lagi ngerazia PKL. Ada-ada aja emang.

"Kenapa kamu?" tanya Mas Damar. Aduh! Aku lupa kalau lagi makan bareng dia. Pasti Mas Damar ngerasa heran karena aku geleng-geleng kepala tanpa sebab.

"Gak apa-apa, Mas. Oh iya, nanti kita ke rumah Ayah lagi?" tanyaku hati-hati. Setelah Mas Damar menangis semalam pasca meninggalnya Dion─adiknya, kondisinya sudah lebih baik sekarang. Meski ia masih lebih banyak diam.

Mas Damar mengangguk. "Kalau nginap disana sampai tujuh harian kamu keberatan gak?"

Aku menggelengkan kepalaku. Mana mungkin aku keberatan. Lagipula aku juga kan masih dalam masa cuti jadi gak masalah kalau menginap di sana. Lebih efisien juga waktunya daripada harus bolak-balik.

"Ya udah kalau gitu aku siapin perlengkapan Aidan sama Viana dulu ya, Mas." Baru saja aku mau beranjak ke kamar, Mas Damar menahan lenganku.

"Nanti aja, May. Temenin Mas dulu disini." Mas Damar kemudian menggeser kursiku agar jarak tempat kami duduk lebih dekat. Dengan isyarat mata ia kemudian menyuruhku untuk duduk lagi. Aku pun memilih untuk menurut saja.

"Maaf ya, May, rencana honeymoon kita gagal," ujar Mas Damar. Tangannya menggenggam kedua tanganku.

"Aku gak mikirin soal itu kok, Mas."

"Maaf juga kalau sikap Mas seharian ini bikin kamu gak nyaman."

Aku tersenyum memaklumi. Seperti yang kubilang, Mas Damar lebih banyak diam hari ini. Kalau bukan aku yang inisiatif nanya-nanya, dia gak bakalan ngomong. Tapi aku mencoba memahami situasinya. Alasan dibalik meninggalnya Dion masih belum bisa Mas Damar terima sepenuhnya. Terlebih, Ibu yang paling dia sayangi pun ternyata ikut andil dibalik semua itu.

"Santai aja, Mas," jawabku.

Mas Damar tersenyum kemudian menyandarkan kepalanya di pundakku.

"Ini ngapain nyender-nyender?" tanyaku.

"Tadi katamu santai aja, ya ini Mas mau nyantai."

Ya gak gini juga kaliii!

Ampun deh Mas Damar tuh omongannya gak pernah bisa ditebak. Namun alih-alih protes, aku hanya bisa menghela napas pasrah. Ya pasrah aja lah sama suami sendiri ini bukan suami orang, ya kan?

***

Kami sampai ke rumah orang tua Mas Damar sekitar pukul empat sore. Sanak keluarga yang lain sudah ramai bergotong-royong membantu mempersiapkan acara tahlilan yang akan diadakan nanti malam.

Diana yang melihatku datang langsung menghampiriku dan mengajakku serta anak-anak ke kamar milik Mas Damar, sementara Mas Damar sendiri lebih memilih untuk langsung menyibukkan dirinya ikut membantu yang lain.

"Mas, kita gak ketemu Ibu dulu?" tanyaku seraya menahan tangannya.

"Nanti." Jawaban Mas Damar sangat singkat namun jelas sekali itu artinya ia tak mau menerima bantahan. Setelahnya ia memberikan tas di tangannya pada Diana dan meminta adiknya itu untuk mengantarku ke kamar.

"Nginep kan, Mbak?" tanya Diana. Sesungguhnya aku masih berasa aneh gimana gitu kalau dipanggil 'Mbak' sama Diana. Soalnya sebenarnya Diana ini lebih tua dariku.

"Iya, Na, nginep seminggu. Kamu juga?"

Diana mengangguk, "Kalau aku sampai empat puluh hari. Abisnya kasihan Ibu masih terpuruk banget kayaknya. Ini aja dari pagi belum makan."

"Ibu belum makan?" Ya ampun aku gak menyangka kalau Ibu mertuaku sampai sebegininya. Kalau dia begini terus-terusan nanti yang ada beliau jatuh sakit.

"Aku udah gak tahu lagi, Mbak, gimana caranya buat bujukin Ibu. Susah banget. Tante-tante yang lain juga udah pada nyerah. Harapan aku Mas Damar sih sebenernya, tapi Mbak tahu sendiri kan tuh Mas Damar masih dingin sikapnya ke Ibu."

Aku menghela napas sejenak. Iya ya susah juga. Tadi kuajak buat ketemu Ibu aja dia jawabnya nanti. Aku gak bisa maksain kehendak sama Mas Damar, tapi aku juga gak tega mendengar keadaan Ibu kayak begini. "Terus Ibu sekarang dimana, Na?"

"Di kamarnya, Mbak."

"Aku ketemu Ibu dulu ya, boleh titip Viana bentar, Na?" Diana mengangguk dan mengambil Viana─yang tengah tertidur─ dengan hati-hati dari gendonganku.

"Abang, kita ke nenek dulu yuk?" ajakku pada Aidan dan ia mengangguk lalu menggamit tanganku.

"Assalamualaikum, Bu." Aku masuk ke kamar Ibu dan rupanya disana Ibu tidak sendiri. Tante Afifah─adiknya Ibu─ tengah menemani Ibu sambil memijit-mijit pelipisnya.

Aku mengecup tangan Tante Afifah juga Ibu, diikuti dengan Aidan. Lalu kami duduk di tepian ranjang Ibu dengan Aidan di sampingku.

"Kata Diana, Ibu belum makan?" tanyaku.

Ibu hanya tersenyum lemah, "Gak nafsu makan, May. Kamu kesini sama siapa?" tanyanya.

"Sama Mas Damar, Bu. Ada Viana juga lagi digendong sama Diana."

Ibu menegakkan posisi duduknya. Aku dan Tante Afifah membantu menyusun bantal untuk sandaran Ibu. "Terus kenapa cuma kamu yang nemuin Ibu, May? Damar mana?" Mendengar pertanyaan seperti itu dari Ibu seketika membuat tubuhku menegang. Aku harus jawab gimana? Gak mungkin kan aku jujur sama Ibu kalau tadi Mas Damar gak mau kuajak buat nemuin Ibu?

Tante Afifah kemudian pamit pergi dengan alasan mau bantu-bantu yang lain. Ia juga mengajak Aidan untuk ikut serta bersamanya. Aku tahu sih sebenarnya dia pasti hanya ingin memberikan ruang untukku dan Ibu bicara.

"Mas Damar langsung ikut ngebantuin yang lain, Bu, nanti kalau sudah selesai pasti nemuin Ibu kok," ujarku setelah Tante Afifah dan Aidan keluar.

Ibu menggeleng pelan. "Damar marah sama Ibu kan, May? Kemarin aja pas pulang dia gak pamitan dulu ke Ibu."

Aku meneguk salivaku sesaat. Perasaan seorang Ibu pasti sangat peka, gak ada gunanya juga aku berbohong sama Ibu. Tapi aku juga gak mau Ibu mikirin soal ini apalagi Dion juga kan baru meninggal. Aku gak mau Ibu merasa kehilangan putra-putranya.

"Bu, kalau Mas Damar marah sama Ibu dia gak mungkin bawa aku sama anak-anak nginep disini untuk nemenin Ibu."

Mata Ibu terlihat berbinar begitu aku mengatakan itu. "Kalian menginap disini?" tanyanya dan aku mengangguk.

"Temenin Ibu ke depan yuk, May, Ibu mau ketemu Damar," ajaknya kemudian tapi aku menahan tangannya.

"Makan dulu ya, Bu," bujukku. "Tenang aja, aku sama Mas Damar nginapnya seminggu kok, masih banyak waktu buat kita ngobrol," imbuhku. Akhirnya Ibu pun mau menganggukkan kepalanya.

Aku tersenyum senang lalu mengambil mangkuk bubur dari meja di samping tempat tidur Ibu. "Ibu mau May suapin atau makan sendiri?" tanyaku.

Ibu mengambil mangkuk itu dari tanganku, "Makan sendiri aja, kalau disuapin nanti Viana cemburu." Aku hanya tertawa dan kemudian membiarkan Ibu melahap makanannya sendiri.

***

To be continue

===================

Pemanasan dulu ya buat permulaan jangan banyak-banyak wkwk

Happy reading!

Much love,

Asty K.
25 Maret 2018

FIDELITY (Sequel Quandary) [Tersedia di PlayStore & Online Bookstore]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang