6

3.5K 188 1
                                    

Luyna memeluk mamanya. Mengucapkan sampai jumpa dan doa sehat selalu. Cipika-cipiki dan nangis lebay menjadi tontonan menarik. Ya, mereka ada di bandara saat ini. Mengantar Luyna menuju penerbangan ke Yogya.

"Huhuhu, Luyna bakalan sering hubungi mama sama papa, vidio call juga nanti.", ucapnya di sela sesenggukaknnya.

"Iya, mama juga bakalan sisain waktu buat terima vidio call-nya Luyna", jawab Laras tak kalah heboh.

Melepas pelukannya, Luyna menepis airmata di pipinya. Melotot kesal pada Laras. "Mama apaan sih, masa waktu buat anak nya cuman waktu sisa ? Perpisahan termehek-mehek nya gak jadi! Batal-tal-tal", ujarnya kesal sambil besedekap tangan.

"Loh? Kok batal sih? Mama kan juga pengen ngikutin gaya teman-teman mama yang pisah sama anaknya, trus upload foto ke instagram", Laras menyeka air mata di wajahnya.

"Gak mau. Mama udah buat mood nya jelek, Luyna gak niat lagi"

"Luyna kok gitu sih? Mama kan kepengen jadi mam-hits juga", Laras menggoyang-goyangkan lengan Luyna, mencoba membujuknya.

Faiz dan Bram hanya menggeleng pasrah melihat sikap kedua ibu dan anak itu.

"Papa kenapa bisa nikah sama mama sih?", tanya Faiz tiba-tiba. Penasaran kenapa papanya yang cool dan keren gini mau sama  ibu-ibu kecentilan dan pecicilan seperti mamanya.

Menepuk bahu sang anak, Bram menghela nafas. "Sepertinya papa khilaf Faiz", ungkapnya penuh penyesalan.

"Ahh! Mam, sakit", ucap keduanya bersamaan.

"Dasar ya, khilaf gimana sampe punya dua ekor kayak gini?! Emang buatnya bisa khilaf juga?", cerocos Laras dengan memperkuat cubitan di perut kedua pria itu.

"Auhh, iya iya, papa minta maaf. Itu cuman bercanda kok mam", teriak Bram saat merasa perutnya kian memanas.

"Iya, Faiz gak salah mam, yang bilang khilafkan papa"

Merasa cubitn di perutny kian kuat, Bram melotot, "Faiz, kau....  Adududuhh"

Luyna memegangi perutnya, tidak tahan melihat wajah memelas dan kesakitan kaka dan papanya.

"Huh. Jika kejadian ini tetap terulang lain kali gak bakalan selesai dengan cubitan saja", ancam Laras, menunjukkan tinju kecilnya kepada dua pria besar di hadapannya.

"Wah, tante luar biasa"

Rey bertepuk tangan, di ikuti anggukan Dwi yang berdiri di sampinya, mereka menghampiri keluarga nyentrik itu. Wajah Bram dan Faiz memerah, antara malu dan sakit.

"Loh? Kalian udah datang?", Luyna kaget, memeriksa handphone, siapa tau Rey dan Dwi menelpon sedari tadi, menanyakan posisinya.

"Gak ada chat atau panggilan, kenapa kalian tau aku disini?", tanyanya, secara bandara itu luas dan rame, akan sulit menemukan mereka.

Menyalami Laras dan Bram, Dwi yang menjawab lebih dulu. "Kita itu gak ada masalah pendengaran Luy, dan gak minus juga matanya", Dwi mengusap rambutnya.

"Hohh, iya ya, teriakan papa dan kak Faiz bisa seberguna in-ih apaan sih kak", sewot Luyna saat Faiz sibuk mengusap rambutnya.

"Sterilisasi", jawab Faiz mantab.

Dwi terkekeh, Faiz memang berlebihan. Sebelum penerbangan, mereka bertiga mendapat wejangan dari Laras dan Bram, tidak lupa juga dari orangtua Rey yang ikut mengantar. Hanya Dwi yang datang sendiri. 

"Luyna berangkat, mam, pa", ucapnya saat akan memasuki pintu pemeriksaan, menyalami keduanya.

"Eh, kakak kok gak di salam?", Faiz memberenggut.

Menatap datar sang kakak, Luyna mengabaikan. Masih kesal dengan sikap menyebalkan Faiz tadi.

"Loh, dek!", panggilnya saat melihat Luyna berjalan menghampiri Dwi dan Rey di seberang.

Berbalik, Luyna melambaikan tangannya, tersenyum sesaat sebelum menghilang di balik pintu.

****
"Auh, pegalnya", Rey menepuk pinggangnya.

"Heh, dasar katrok lo, baru Jakarta -Yogya lo udah ngeluh", Dwi menyahut, menarik koper Luyna bersamanya.

"Biarin, eh bawain koper gue juga dong"

"Mana mau gue, lo kata gue babu", sewot Dwi.

"Lo mah gitu, gak Setia kawan amat sih, punya Luyna aja lo bawain"

"Lo sama Luyna itu beda, beda kasta sama tampang"

"Jrit! Ngejleb banget", ucap Rey sambil meremas baju di daerah dadanya, memasang tampang tersakiti. "Lo lihatkan Luy, gimana kejamnya dia sama gue. Mending lo juhin Dwi deh, temanan nya sama gue aja", adunya pada Luyna yang sedari tadi cekikikan di sampingnya.

"Haha, kalian ini ada-ada aja", Luyna menyahut, "eh, ngomong-ngomong bawaan lo cuman itu Dwi?"

"Hm? Iya", Dwi menunjukkan tas ransel di punggungnya.

Rey juga memperhatikan, "dikit banget. Paling isinya cuman daleman doang sama sikat gigi. Iya kan?", tanyanya dengan curiga.

"Gila lo, lo kata gue gak pake baju apa"

Rey cekikikan mendapati jawaban kesal Dwi.

"Ehm, trus kenapa bawaan lo dikit Dwi?", tanya Luyna yang masih penasaran.

"Nanti gue tinggal beli. Malas bawa banyak barang"

Rey dan Luyna saling tatap. "Orang kaya memang beda ya", ujar Luyna yang diamini Rey.

"Oh, mobilnya datang. Ayo"

Dwi mempercepat langkahnya, menyapa supir. "Kasih barang lo sini, pak Retno aja yang masukin ke bagasi", mintanya pada Rey.

"Bagaimana penerbangannya nona? Menyenangkan?", tanya pak Retno sopan.

"Membosankan pak", protes Rey.

"Haha, padahal cuman satu jam nona", candanya.

"Tetap aja bosan pak"

"Rey padahal di pesawat tadi cuman tidur lo", ujart Luyna.

"Eh, itu karna memang bosan"

"Nanti malam kita keluar yo, ngilangin bosannya Rey", cetuk Dwi di bangku depan.

"Oh, boleh baget tu", Rey menyahut semangat.

"Iya, gue juga pengen jalan-jalan nih. Say hello sama kota Yogya", cengir Luyna.

****
Luyna memberenggut kesal. Dia di bohongin Dwi dan Rey. Apanya yang jalan-jalan? Mereka malah asik molor di kamar masing-masing. Meninggalkannya dengan setumpuk piring kotor bekas pesta penyambutan kecil-kecilan mereka.

"Dasar, besok-besok gue gak bakalan mau di ajak ngerayain pesta lagi", sungut Luyna saat mengangkati piring ke wastafel.

"Ni rumah gak da hantunyakan ya?", bisiknya pelan. Dia mengedarkan mata ke seluruh ruangan, memperhatikan nuansa baru tempat tinggal mereka. Ruangan simple dengan gaya minimalis.

"ckck, orang kaya memang beda banget ya", memikirkan hal itu, tangannya semakin cepat membilas piring.

Ya, tempat mereka tinggal sekarang adalah salah satu dari rumah milik keluarga Dwi. Katanya biar ngak cari kos lagi, dan bersukurnya ni rumah gak jauh dari kampus. Palingan cuman berjarak dua blok.

"Selesai", ujarnya senang saat meletakkan piring terakhir ke rak. "Mari kita tidur", dia menuju kamarnya, kamarnya dan Rey lebih tepatnya. 

Menyipaki koper dan tas yang masih berserakan, dia menuju kasur. Belum sempat periksa handphone, matanya sudah terpejam. Tidak melihat chat yang baru saja dia buka tanpa sadar tadi.

My Boyfriend Is DudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang