11. Sang Bintang

9.8K 433 12
                                    

Aku pikir salah satu bagian paling menyenangkan dalam pernikahan adalah ketika mendapatkan ibu mertua yang baik. Mama Indah tak pernah membuatku berhenti menyayanginya sebagaimana aku kepada ibuku sendiri. Walaupun aku tahu Mama Indah juga terlibat dalam menutupi kebohongan soal pernikahan ini, aku tetap harus menghormatinya.

Beliau datang sejak siang tadi membawakan banyak bahan masakan untuk memenuhi kulkas rumah ini. Mama Indah memang tak berniat membawa masakan, mama mertuaku itu mengaku tak bisa memasak apa pun kecuali mie instan. Oleh karena itu, ia lebih memilih untuk membawa bahan mentah untuk ku olah sendiri.

Kami membicarakan banyak hal sejak siang tadi, bahkan aku tak sadar bahwa hari sudah semakin sore. Mama bercerita soal persahabatannya dengan Ibu sejak duduk di bangku SMA yang harus terpisah ketika beliau menikah dengan Papa Wisnu dan pindah ke Jakarta. Namun, takdir berkata lain dan mempertemukan mereka kembali di kota ini. Aku tahu ada banyak hal yang terlewat dari cerita tersebut, sebab ketika semua diceritakan dengan runtut maka Mama akan membongkar kapan tepatnya pernikahanku dan Mas Aksa terjadi. Oleh karena itu, aku lebih memilih untuk tak menginterupsi.

Semua berjalan normal, tetapi satu pertanyaan Mama di saat menunggu taksi pesanannya tiba membuatku menaruh rasa tak nyaman dalam benak. "Sejauh ini Aksa tidak pernah berbuat aneh-aneh, 'kan?" tanyanya dengan raut khawatir yang justru membuatku mengernyit.

Mas Aksa memang tak pernah berbuat macam-macam atau pun aneh. Namun, memangnya kegiatan seperti apa yang Mama maksud hingga begitu khawatir? Sejauh ini, bahkan seminggu tinggal berdua dengan Mas Aksa, semuanya berjalan normal seperti biasa. "Maksud Mama aneh seperti apa?" tanyaku bingung.

Pertanyaan Mama satu itu membuatku bertanya-tanya soal apakah Mas Aksa punya kebiasaan buruk yang tak kuketahui. Mama Indah masih diam, justru sibuk merapikan rambut pendek yang sebenarnya masih baik-baik saja. Lalu, beliau justru tertawa canggung seolah menyadari bahwa pertanyaannya justru mengundang banyak tanya lain. "Oh, enggak, ma---maksud Mama seperti .... apa ada yang pernah datang kemari selain anggota keluarga?seperti teman, relasi, klien atau ... ya kamu tahu pekerjaan Aksa sebagai pengacara pasti mengundang banyak orang untuk bertamu ke rumah, 'kan?" tanyanya lagi.

Aku menggeleng, "Sejauh ini belum ada yang bertamu, Ma." Aku melihat dengan jelas helaan napas lega dari Mama. Sejujurnya, ini aneh, tetapi aku berusaha untuk tak bertanya lebih lanjut. Lagipula, Mama seperti ingin mengakhiri obrolan yang dimulainya sendiri, bahkan beliau mengucap syukur dengan lirih saat aku mengabari bahwa taksi yang dipesan sudah tiba di depan rumah.

Aku mengantar Mama ke depan, menyalami tangannya dan berpelukan. "Hati-hati, Ma."

Beliau mengangguk. "Kapan-kapan kamu sama Aksa yang ke rumah ya," ucapnya sebelum taksi yang ditumpangi berjalan meninggalkan rumah. Belum sempat aku menanggapi, mobil tersebut sudah berjalan meninggalkanku berdiri sendirian di depan pagar. Namun, aku yakin tanpa Mama tahu aku memberi jawaban pun pasti beliau tahu kalau aku dan Mas Aksa akan datang berkunjung.

****
Mas Aksa memang sudah memberitahuku bahwa dia akan pulang terlambat, karena harus  berdiskusi dengan sesama rekan pengacara mengenai kasus yang sedang mereka tangani bersama. Aku sedikit khawatir ketika mengetahui bahwa Mas Aksa ikut menjadi jajaran pengacara yang membela korban pembunuhan dan perampokan yang marak terjadi akhir-akhir ini. Kasus tersebut tidak biasa, karena menurut analisis beberapa sumber mengatakan bahwa ada keterlibatan mafia kelas kakap di baliknya.

Aku hanya takut hal buruk mengintai keselamatan suamiku. Aku tahu ini berlebihan, tetapi ada kalanya perlu untuk lebih berwaspada terhadap apa pun. Kakiku berjalan kembali masuk ke dalam rumah, tanpa menutup pagar karena Mas Aksa belum pulang. Namun, baru saja tanganku mencapai gagang pintu, sebuah mobil mini cooper berwarna kuning masuk ke dalam pelataran rumah.

Aku mendadak cemas, buru-buru ingin masuk ke dalam rumah. Namun, aku justru melongo di tempat saat seorang perempuan dengan gaun ungu dan blazer hitam keluar dari mobil tersebut. Aku bukan seseorang yang mengenal betul artis-artis Indonesia, tetapi untuk yang sedang berjalan menghampiriku ini ... aku tahu.

Dia Sandana Agista.

Sang Bintang yang sedang naik daun akhir-akhir ini, bahkan setiap kali aku membuka televisi wajahnya selalu muncul di pemberitaan. Namun, satu pertanyaan yang langsung muncul dalam benak adalah mengapa wanita ini muncul di rumah kami? Dia terus berjalan dengan anggun menggunakan sepatu hak tinggi yang kuyakin harganya puluhan juta.  Aku yang lebih mirip dengan upik abu hanya mampu terdiam seperti patung ketika langkah Sandana Agista berhenti tepat di hadapan. "Aksa ada?" tanyanya.

Aku mengerjap berulang kali hanya untuk terus memastikan kalau yang sedang menatapku dengan tajam itu adalah artis terkenal. Ini mungkin salah satu yang dimaksud Mama Indah ... klien Mas Aksa. Namun, seingatku wanita ini tak memiliki skandal hingga harus menemui pengacara di sore menjelang malam seperti ini sendirian. Aku berdeham, menyadari harus bersikap baik dengan siapa pun yang mungkin akan menjadi klien suamiku. "Kebetulan Mas Aksa belum pulang," aku buru-buru membuka pintu, "mari masuk dulu jika sekiranya ada yang ingin dibicarakan dengan beliau," ucapku ramah.

Dia mengenyit, alis yang tebal itu menyatu dan bola mata yang dibalut softlens berwarna senada dengan bajunya menyorot aneh. "Kamu pembantu baru?" tanyanya lagi yang membuatku sedikit tersinggung. Namun, belum sempat aku menimpali, dia justru berbicara sendiri. "Sejak kapan dia menggunakan jasa pembantu?"

Aku memang tak begitu suka berdandan, tetapi apakah penampilanku begitu buruk hingga dia menyebutku seperti itu? Oh, bukan maksudku untuk menyinggung asisten rumah tangga mana pun. Namun, apa aku begitu tidak cocok disebut sebagai istri dari Deaksara Wisnu Sagara?

"Saya bukan---"

"Ra!"

Aku terlonjak sedikit mendengar seruan Mas Aksa yang tiba-tiba muncul di ujung teras dengan napas kejar-kejaran. Belum sempat aku memberikan reaksi, perempuan yang baru saja menyebutku sebagai pembantu itu justru lebih dulu menyahut dan menghamburkan diri ke arah suamiku. "Aksa!"

Genggamanku pada gagang pintu reflek makin erat. Jantungku berdegup kencang tanpa sebab, napasku tercekat. Sesungguhnya pemandangan di depanku itu masih tergolong biasa saja, tetapi entah mengapa perasaanku berkata lain. Lalu, pertanyaan Mama tadi seolah memberi petunjuk bahwa ada banyak hal yang belum kuketahui soal suamiku sendiri.

Kedua mata kami tak pernah saling melepaskan sejak bermenit-menit yang lalu, dia terus menyorotku seolah ingin mengungkapkan beberapa kalimat. Namun, aku cuma ingin menghindar lagi. Oleh karena itu, langkahku lebih memilih masuk ke dalam rumah ketimbang harus melepaskan pelukan erat dari bintang papan atas pada suamiku.

Mungkin ini yang dimaksud Mas Aksa bahwa kami asing dan sudah seharusnya menyimpan semuanya masing-masing.

Tbc.

Haiii, aku balik lagi ... semoga besok bisa update lagi yaaaaa semogaa  😂

Tuban, 08 Agustus 2022.

With sweetest thing,

Dvrnaaya.



Surprisingly Wedding [NEW VERSION/ONGOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang