19. The Way He Kiss Me

8.1K 128 15
                                    

Kami pulang.

Keadaan rumah masih sama seperti 3 hari lalu ketika kutinggalkan. Namun, bisa kurasakan debu yang agaknya ada di beberapa bagian. Aku hendak buru-buru mengambil peralatan untuk membersihkan rumah, tetapi Mas Aksa yang seolah bisa membaca pikiran lebih dulu menahan lenganku. "Ra, rumah kita enggak sekotor itu ... besok saja, ya?" pintanya.

Aku cuma bisa mengalah, menghela sambil membiarkan pria ini mengusap rambutku beberapa kali. Kami masih berdiri di tengah-tengah ruangan yang terhubung dengan dapur dan halaman belakang. Aku pun memintanya untuk menunggu di halaman belakang sembari aku mengambil kotak obat dan peralatan lain untuk mengobati lukanya. Sejujurnya, pertanyaan mengenai dari mana luka-luka itu diperoleh masih menghantui pikiran.

Pria itu sudah duduk di salah satu kursi kayu yang tertata mengelilingi meja di tengah-tengah halaman belakang. Lampu-lampu bulat dengan sinar kuning yang sengaja kami pasang beberapa minggu lalu menambah kesan hangat malam ini. Aku mematung sesaat dengan kedua tangan penuh peralatan untuk menangani luka bekas pukulan milik Mas Aksa. Pria yang tengah duduk membelakangiku itu ... benarkah dia yang bertanggung jawab atas diriku mulai sekarang, menggantikan Ayah?

Dia menoleh membuatku kembali dari lamunan yang mendadak memenuhi kepala. Mas Aksa tersenyum simpul memintaku untuk segera bergabung dengannya di tengah-tengah taman belakang. Aku pun mengambil duduk di sebelah pria ini lalu mulai memeras handuk yang sudah kurendam dengan air dingin. Tanganku mulai terulur, menekan permukaan handuk dengan perlahan pada luka-luka itu. Dalam keheningan di antara kami, aku memberanikan diri untuk bertanya kepada Mas Aksa. "Sebenarnya luka-luka ini kamu dapatkan dari mana?"

Dia masih memilih bungkam membuatku mendesah kesal. Aku berusaha keras mencoba tetap bertahan dengan mengobati pria ini. Semakin aku memperhatikan dari dekat, luka-luka itu terlihat ada di beberapa tempat. Aku meringis setiap kali Mas Aksa merintih ketika handuk yang telah direndam dengan air dingin mengenai luka tersebut. Aku tak menyerah, kembali menuntut jawaban. "Kamu kalau enggak mau jelasin, saya bisa tanya Cakra. Lagipula kalau memang ini bukan apa-apa harusnya kamu bisa jawab dengan---"

Mulutku yang terus mengoceh dibungkam paksa. Pria itu mencuri satu kecupan di bibir. Aku cuma bisa mengerjap dan menjatuhkan handuk tanpa sadar. Kedua matanya mengunci tatapanku, membuatku terus terseret dalam gelombang aneh yang memaksaku untuk terus menatapnya. Dalam jarak sedekat ini, aroma citrus dan woody yang menguar dari tubuh Mas Aksa kian tercium jelas.

Aku mematung sekaligus menahan napas ketika jemarinya menahan daguku dengan usapan lembut di pipi kanan. "Ma---mas," ucapku tercekat. Pertanyaanku barusan seolah menguap entah ke mana, sedangkan Mas Aksa masih bersikeras membuatku salah tingkah dengan tatapan yang terus mengunciku. Aku tidak tahu ke arah mana bola mata hitam itu memusatkan pandangan, sebab degup jantung ini nyaris membuat kepalaku kosong melompong.

"Hal-hal seperti ini biasa terjadi, Ra," jawabnya dengan satu tangan yang mulai beralih menuju tengkukku.

Aku meremang.

Mas Aksa tersenyum kecil, mungkin menertawakan ekspresiku yang aneh saat ini. "Persidangan tidak selamanya berakhir baik, lawan saya jelas bisa melakukan apa saja untuk membuat hatinya puas setelah kalah di persidangan," tambahnya lagi.

Kepalaku mengangguk kaku mendengar penjelasan tersebut. Kini aku menjadi pihak yang terdiam seolah kehilangan seluruh kosa kata di dunia ini. Wajahnya mendekat kembali dan aku tak bisa menghindar sebab bagian belakang kepalaku sudah ditahan oleh Mas Aksa. Hidung kami bersentuhan, bola mata hitam itu terlihat makin terang di kegelapan malam. Jantungku yang berdegup kencang tidak dapat dideskripsikan dengan jelas.

Surprisingly Wedding [NEW VERSION/ONGOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang