14. Supermarket Date

9.8K 399 21
                                    

Tangannya tidak pernah berhenti menggenggamku.

Mas Aksa tetap merealisasikan tawarannya untuk mengantarku belanja bahan-bahan masakan. Aku meliriknya diam-diam, wajah serius itu begitu menarik untuk dipandang. Di tengah keramaian supermarket, aku bertanya-tanya apakah semua pasangan suami istri begini? Maksudku apakah semudah ini berbaikan? Padahal baru kemarin hingga pagi ini kami saling menghindar.

Langkah kami berhenti pada area sayur dan buah-buahan, tetapi sesungguhnya aku tidak tahu harus memilih bahan yang mana. Mataku lebih tertarik menikmati bagian belakang tubuh Mas Aksa yang tengah sibuk menjelajah bahan masakan, meski aku yakin dia tidak benar-benar memilih. Ini pengalaman pertamaku pergi ke supermarket dengan pria ... maksudku selama menjalin hubungan dengan Gadhing, dia tak pernah mau menemaniku. Bukan bermaksud untuk membandingkan, tetapi aneh saja rasanya pergi berdua seperti ini untuk memilih bahan masakan yang akan diolah nanti.

"Dhera ..."

Aku berjingkat pelan saat tiba-tiba suara Mas Aksa terdengar. Selain itu, aku juga ketahuan mencuri pandang pada dirinya sedari tadi. Oh, satu lagi, ini kali pertama aku mendengar nama panggilanku disebut dengan sempurna oleh Mas Aksa. Pria ini tersenyum kecil, aku kikuk. "Saya sebenarnya enggak punya ide mau makan apa," ucapnya sambil menggaruk tengkuk. Aku mengangguk, sedikit bersyukur saat dia tidak membahas soal mengapa aku diam-diam memperhatikannya sedari tadi. Tanganku bergerak cepat, mengambil beberapa jenis sayur untuk mengisi persediaan kulkas kami.

Aku juga buru-buru berjalan menuju lorong bumbu dapur, tetapi tersentak ketika satu lenganku ditahan Mas Aksa. Mataku mengerjap pelan tanpa berusaha membuka mulut untuk bertanya. Dia menghela napas, menarik satu tanganku untuk digenggam kembali sembari mendorong keranjang belanjaan. Aku mengernyit sesaat, karena dalam sekejap pria itu memberiku banyak penjelasan.

"Tujuh bulan, Ra."

Aku mengerjap bingung, sedangkan Mas Aksa memandangku. "Tepat di tanggal ini, tujuh bulan yang lalu, saya menikahimu."

17 Juni 2017.

Pertama kalinya aku mendengar tanggal pernikahan kami. Entah terlalu emosional atau apa, mataku mendadak memanas. Namun, sekuat tenaga kutahan supaya tak mengganggu penjelasan lain yang mungkin hendak diutarakan Mas Aksa. "Maaf karena sudah menyembunyikan terlalu lama," ucapnya lagi.

Aku menghela napas, pelan-pelan melepaskan genggaman tangan kami. Mas Aksa tampak kecewa dan aku justru kembali fokus pada bumbu masakan yang berjejer di antara rak-rak yang menghimpit kami. Tanganku bergerak ke sana ke mari, membiarkan kepala ini terisi dengan berbagai macam merk. Aku terlalu takut untuk mendengar pemahaman-pemahaman lain, tetapi juga begitu ingin mendengar kisah kami dari sudut pandang suamiku.

"Lanjutkan."

Mas Aksa mendongak, menemukan mataku lagi. "Ceritanya ... saya mau dengar lebih banyak lagi," jelasku sambil tersenyum tipis.

****

Dia tersenyum lebar sembari mengikutiku menuju lorong yang lain. Aku mungkin tak akan marah dengan penjelasan kali ini. Aku ingin mendengar lebih banyak, lebih detail, serta ingin mendengar bagaimana bisa dia menerimaku menjadi pendamping hidupnya. Dengan begitu, aku berharap dapat menerima pernikahan kami tanpa keraguan lagi.

"Kamu sadar nggak kalau pernah ketemu saya dan Mama dua tahun lalu?" tanyanya membuatku berhenti melangkah.

Aku berbalik, memandangnya bingung, "Kamu dan Mama? Di mana?"

Kedai Anggrek katanya. Ya, kedai milikku dan Ibu. Dua tahun lalu, Ibu memang mengadakan reuni kelas dengan teman-teman SMA-nya di kedai kami. Aku ikut mempersiapkan acara tersebut dan Mama Indah memang bagian dari tamu undangan. Dari cerita Ibu beberapa bulan yang lalu, Mama Indah memang teman dekat beliau sejak SMA. Namun, telah berhenti komunikasi semenjak Ayah membawa Ibu ke Yogyakarta hingga kembali lagi ke Jakarta saat ini.

Aku tak begitu mengingat rangkaian acara reuni itu, karena di tengah acara aku pergi bersama Gadhing entah untuk apa. Aku lupa ... maksudku ini kejadian 2 tahun lalu dan bukankah wajar jika lupa? Aku menggaruk kepala sejenak, berpikir apa hubungannya acara reuni dengan pernikahan kami?

"Kita sempat berjabat tangan, begitu juga dengan Mama dan kamu." Mas Aksa terkekeh, "Seingat saya, Mama bilang begini ke Ibu, akan menyenangkan seandainya kita jadi besan."

Mas Aksa meraih kotak sereal yang tak mampu kujangkau dalam hitungan detik. Dia memaksaku untuk menatapnya, "Dan sekarang benar-benar terjadi."

Aku tertawa. "Well, apa karena itu kamu datang dan menerima tawaran Ayah untuk menikahi saya?" jari telunjukku menyentuh dada Mas Aksa, "Anak baik," lanjutku.

Kami terlalu banyak mengumbar senyum malam ini. Entahlah, tetapi menyenangkan. Kaki-kaki ini mengayun menuju lorong lain lagi, meski sebenarnya sudah terlalu lama mendekam di supermarket. "Sebenarnya, pria itu sering datang ke rumah sakit, Ra. Bahkan, saking seringnya, kami harus memindahkan kamu ke empat rumah sakit lain."

"Rumah sakit terakhir sekaligus tempat di mana kamu akhirnya sadar adalah pilihan Papa dan dengan bantuan koneksi beliau membuat pria itu tidak pernah bisa menemukan keberadaan kamu lagi."

Mas Aksa berhati-hati ... aku tahu. Ini mungkin bagian cerita yang paling ingin kuloncati, tetapi tanpa bagian tersebut, cerita ini tidak akan pernah menuju akhir. Aku menyentuh lengan suamiku, memberi pengertian bahwa aku masih mau mendengar lebih banyak lagi hingga tuntas. Alasan mengapa Mas Aksa mengetahui cerita ini dari awal adalah karena dia sang saksi kunci malam kecelakaan itu. Dia juga yang membawaku ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan pertama bersama dengan saksi lain. Kebetulan yang melibatkan kami di acara reuni SMA Mama dan Ibu berlanjut hingga hari ini.

Ibu yang mengenali Mas Aksa sebagai anak teman dekatnya membawa keberuntungan bagi kami untuk menerima bantuan keluarga pria itu semasa aku koma. Entah alasan apa yang membuat Ayah memutuskan untuk membuat pernikahan demi menjagaku dari pencarian Gadhing, juga entah keputusan apa yang membuat Mas Aksa menerima tawaran itu. Semuanya masih abu-abu, tetapi berdiri di hadapan pria ini adalah kenyataan paling masuk akal yang bisa kuterima. Ada banyak hal yang sudah dikorbankan Ayah dan Mas Aksa, maka sekarang giliranku untuk menerima tanpa mempertanyakan alasan lagi.

"Kamu baik ... paling baik, Mas," ucapku menghentikan ceritanya.

Kedua tanganku terulur pada bahu Mas Aksa, mengusap berulang kali hingga membuat pria ini kebingungan. Bibirku memamerkan senyum sembari menahan diri untuk tak meneteskan setitik air mata pun. Seolah memahami perasaan itu, Mas Aksa merengkuhku dalam dekapan. Aroma miliknya bisa kuhirup lebih banyak lagi, usapan lembut di kepala serta punggungku terasa makin nyaman, tak peduli di mana kami berada saat ini. Aku berharap bisa mencintainya sebagai pria yang dikirim Tuhan, mengusir nama pria lain yang sempat mengisi relung hati.

"Saya mau belajar saling menerima sekaligus saling mencintai, Ra," bisiknya parau.

Tak ada kata lagi yang kuucap selain menerima tawarannya dengan anggukan kepala. Aku mungkin sedang mengambil resiko besar, tetapi rasanya seperti tidak apa-apa. Perihal mengenai teka-teki siapa Sandana Agista di hidup Mas Aksa seolah bisa kuterima, meski aku tahu kalau hal-hal menarik terlebih menyakitkan mungkin bisa datang kapan saja.

Kami melepaskan pelukan, memandang satu sama lain lewat kelopak mata yang saling mengerjap. Ibu jari Mas Aksa mengusap bulir air mata yang tertinggal di kedua pipiku. Kemudian, kami melanjutkan acara berbelanja yang sempat tertunda ini dan menuju kasir untuk membayar seluruh barang yang ada di troli.

Malam ini akan sempurna jika hanya berakhir dengan kencan supermarket. Pikirku semua kesedihan beberapa bulan ini akan berakhir. Namun, aku tahu bahwa dunia tidak akan selalu berpihak dengan angan-angan, sebagaimana malam ini. Saat tangan kami kembali bertaut hendak keluar dari supermarket dengan belanjaan di masing-masing tangan, napasku kembali tercekat. Di ujung sana ada wanita yang paling kuhindari, berdiri kepayahan sendiri.

Dia menatapku, seolah memohon.

Tbc.

Haiii, Selamat Tahun Baru 🙌 ... meskipun telat.

Lanjut langsung nggak nih? 😂

Tuban, 19 Januari 2023

With sweetest thing,

Dvrnaaya.


Surprisingly Wedding [NEW VERSION/ONGOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang