12. Tentang Kemeja

9.9K 466 34
                                    

Satu hal yang kuketahui dengan pasti adalah dia bukan calon klien Mas Aksa.

Bukannya aku tak menilai sebesar apa kemungkinan tersebut, tetapi rasa-rasanya semua orang bisa meyakini kalau Sandana Agista tidak sedang membutuhkan pengacara. Dia dan Mas Aksa sudah duduk di ruang tamu entah membicarakan apa. Aku tak tertarik, lagipula akan begitu aneh jika tiba-tiba bergabung dengan mereka. Oleh karena itu, tubuhku ini memilih untuk berkutat dengan masakan di dapur.

Jangan berharap aku terluka dengan berlebihan ketika suamiku dipeluk mesra oleh bintang papan atas, karena rasanya aku cukup memahami. Mas Aksa pasti menyimpan semuanya sendiri, termasuk dengan pernikahan tiba-tiba ini. Sandana Agista mungkin satu dari sekian banyak manusia yang tidak mengetahui fakta bahwa Mas Aksa sudah menikah. Namun, aku sedikit kurang nyaman dengan kedatangan wanita itu tanpa kabar apa pun dari Mas Aksa.

Suara kompor yang dimatikan membuatku sadar sudah terlalu lama melamun dan meninggalkan masakan yang kupanasi nyaris gosong. Aku menoleh ke samping, mendapati Mas Aksa yang tiba-tiba sudah ada di sana. "Ada yang harus saya bicarakan dengan kamu, Ra," ucapnya langsung.

Aku menghindar lagi dengan memindahkan egg roll yang sudah matang pada piring. Namun, bukannya Mas Aksa mengerti dan memberiku ruang sendiri, dia justru meraih barang-barang yang ada dalam genggamanku ke meja. "Mas!" pekikku keras.

Mas Aksa menatap tajam meski sekilas dan berucap, "Saya mau bicara."

Aku menghela napas, "Nanti." Aku kembali melanjutkan kegiatanku yang dipaksa berhenti. Tanganku meraih apa pun yang sekiranya bisa kuandalkan sebagai alat untuk menghindari sorot mata Mas Aksa yang tak kunjung lepas. "Saya janji akan mendengarkan semua yang ingin kamu bicarakan, tapi untuk sekarang tolong beri tamu kita minum, lalu kamu mandi, dan setelah itu ..." aku menatapnya, "ajak dia makan bersama."

Aku mendengar decakan dari bibirnya, tetapi kuabaikan begitu saja. Dia juga memilih mengalah dan menuruti keinginanku. Semua gerak-gerikanya tak lepas dari perhatian, mulai dari menuang persediaan jus jeruk kami ke dalam gelas, hingga menyuguhkan minuman tersebut kepada tamu dadakan. Aku bisa bernapas lega saat Mas Aksa masuk ke dalam kamar untuk segera membersihkan diri sebagaimana perintahku tadi.

Untuk makan malam, aku mungkin tak berniat ikut bergabung dengan mereka. Bukannya tidak menghargai tamu, tetapi .... tidak, ini bukan cemburu, tolong jangan berpikir seperti itu. Aku hanya merasa perlu memberikan dua orang yang entah memiliki hubungan apa itu sebuah
ruang, mereka perlu bicara tentang banyak hal. Oleh karenanya, setelah menyiapkan berbagai jenis makanan di atas meja, aku memilih untuk naik ke lantai dua tanpa menunggu persetujuan Mas Aksa.

Di lantai dua rumah kami, ada tiga kamar kosong, dan di tengah bagian ujung ruangan ada pintu yang terhubung dengan balkon. Aku menggeser pintu kaca tersebut, lalu meloloskan diri untuk menikmati angin yang membelai pipiku malu-malu. Aku memejamkan mata sejenak, menikmati bagaimana dunia tercipta dengan begitu indahnya walau hanya dilihat dari atas balkon rumah yang tak setinggi bangunan-bangunan di luar sana.

Tepat seminggu aku tinggal di sini. Aku pikir tak akan pernah ada hal-hal yang akan membuatku  bertanya-tanya, tetapi malam ini justru memberiku banyak beban di kepala. Wanita itu ... Sandana Agista, siapa dia sesungguhnya? Apa dia sosok yang dimaksud Mama dalam pertanyaan yang berbelit? Apa dia juga wanita yang mungkin pernah dan masih menjadi kisah di dalam hidup Mas Aksa? Aku tidak tahu sebab seluruh dunia mengatakan bahwa sebaiknya aku tak pernah tahu apa pun.

Setelah bermenit-menit berlalu, bahkan nyaris satu jam aku berdiri sendirian di atas balkon dengan ditemani sunyi, suara derap langkah yang mulai menaiki tangga membuatku lagi-lagi harus menghela napas. Sebentar lagi, aku wajib mendengarkan seluruh penjelasan yang mungkin tak sesuai dengan harapanku. Cengkeraman kedua tangan pada railing besi balkon makin erat, entahlah aku sendiri tak mengerti mengapa harus secemas ini.

"Dhera ..."

Suara itu hanya milik Mas Aksa, bukan yang lain. Aku berbalik menghadapnya setelah membuang napas berkali-kali. Dia di sana, berdiri tak jauh dari hadapanku. Pria itu sudah lebih tampak segar dengan kaus putih dan celana tidur panjang yang selalu kusiapkan sejak pagi. Tidak ada gel di rambut sehingga tampak disisir asal, tetapi tetap rapi. Aku mengerjap pelan, menyadari terlalu lama memperhatikan penampilan Mas Aksa. "Apa?" tanyaku kemudian.

Aku mengernyit saat mendapati respon Mas Aksa yang terlihat gugup. Satu tangannya menggaruk tengkuk seolah ada kalimat yang tertahan di mulut. Dia menatap ragu, bahkan terlihat jelas menghindari mataku. Aku sudah hendak bertanya lagi, tetapi harus terdiam di tempat saat satu kalimatnya membuatku makin tertekan.

"Gista ... ingin menginap malam ini."

****
Rumah ini memang bukan milikku, maka tidak pula berhak mengatur siapa-siapa yang boleh menginap di sini. Aku cuma bisa mengangguk kaku merespon informasi dari Mas Aksa tadi. Kemudian, kini yang kulakukan justru menyiapkan satu kamar tamu di lantai dua untuk ditempati wanita itu.

Setelah mengganti seprai, aku jelas hendak buru-buru keluar dari kamar ini untuk menghindari kontak dengan Sandana Agista lagi. Namun, belum sempat mencapai pintu, wanita itu justru lebih dulu masuk dengan sorot matanya yang tajam. Aku malas berbasa-basi, bahkan tersenyum pun enggan. Perasaan tak nyaman yang entah apa namanya ini tidak bisa kujelaskan secara rinci. Aku hanya begitu sesak walau sekadar menatap sosoknya yang kini sudah duduk di tepi ranjang.

Tanganku sudah merain gagang pintu, tetapi lagi-lagi harus berhenti ketika suaranya memanggilku. "Kamu ..." aku menoleh dan detik itu juga menyesal telah menancapkan atensi pada sang bintang papan atas. "Aku mau kemeja Aksa ... dia biasa meminjamkan saat aku menginap di sini," ucapnya tak tahu malu.

Aku cuma bisa mengangguk kaku seperti robot yang menerima perintah. Kemudian, buru-buru membuka pintu dengan harapan bisa bernapas bebas. Namun, aku keliru, karena saat aku benar-benar keluar dari kamar itu ... aku justru mendapati suamiku berdiri menjulang dengan kedua tangan membawa kemeja putih yang terlipat rapi.

Aku tidak bisa lagi mendongak untuk memperlihatkan bagian dari diriku baru saja terkoyak hanya perkara kemeja. Tidak ... ini memang bukan apa-apa, tetapi hal ini pula yang menjabarkan bahwa Mas Aksa belum menjelaskan siapa aku kini di hidupnya kepada wanita itu. Aku buru-buru meninggalkan lantai dua, tak memperdulikan panggilan Mas Aksa yang bertubi-tubi disematkan untukku.

Aku masuk ke dalam kamar kami, terduduk lesu di ujung ranjang yang seminggu ini menjadi tempat kami tidur. Seprai itu masih sehangat biasanya, tetapi tidak dengan diriku yang mulai menggigil. Tangisku tak ingin luruh sehingga bergetar seluruh tubuh. Aku cuma ketakutan menghadapi kenyataan bahwa lagi-lagi aku menjadi pihak yang menghalangi dua orang untuk bersatu. Cukup Gadhing dan Risa yang begitu ... sudah cukup satu.

Tbc.

Haiii, ternyata aku memang sudah tidak bisa seproduktif dulu 😂

Tuban, 11 Agustus 2022.

With sweetest thing,

Dvrnaaya.


Surprisingly Wedding [NEW VERSION/ONGOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang