Acara makan malam keluarga tetap berlangsung. Keputusan akhir setelah perdebatan panjang dengan Mas Aksa. Namun, aku yang tak lagi berselera melakukan apa pun, memutuskan untuk mengubah rencana kami dengan acara barbeque, alih-alih memasak berbagai macam menu. Di pukul 4 sore tadi, kami bergegas menuju supermarket untuk membeli bahan-bahan yang melengkapi makan malam kami.
Semua anggota keluarga inti sudah datang di rumah kami tepat pukul 7 malam. Mama dan Papa datang bersamaan begitu juga dengan Ayah serta Ibu. Namun, Cakra yang tak kunjung tiba membuatku didera rasa gelisah. Aku terlalu takut kalau adik iparku itu berbuat hal-hal di luar nalar untuk membalas Sandana Agista.
Mas Aksa memang meminta Cakra untuk mengantar Gista pulang, pun pria itu tak menolak, justru tampak suka rela memenuhi keinginan suamiku. Tanganku saling meremat tanpa sadar ketika mencapai dapur untuk mengambil sayuran yang sudah kubersihkan tadi. Cakra seperti punya kebencian tersendiri terhadap wanita itu sehingga menimbulkan kekhawatiran. Aku memang kurang menyukai Gista, tetapi bukan berarti berharap hal buruk terjadi padanya.
"Ra?"
Panggilan Mas Aksa yang tiba-tiba itu membuatku tersentak hingga tanpa sengaja menjatuhkan beberapa helai daun selada yang sudah tercuci bersih. Aku berbalik, menemukannya yang menatapku dengan dahi mengernyit. Walaupun keadaan kami masih kikuk setelah insiden tadi, tetapi kami berusaha untuk tetap baik-baik saja. Lagipula, secara tidak langsung kami telah berdamai.
Dia menghampiri lalu memungut daun selada yang jatuh tepat di bawah kakiku. "Kamu kenapa?" tanyanya yang mungkin sadar kalau nyawaku seperti hilang entah ke mana.
Aku hanya menggeleng.
Dia kembali ke arahku setelah membuang daun selada tadi ke dalam tempat sampah, lalu mencuci tangan. "Kamu tahu kalau wajahmu enggak pernah bisa berbohong, Ra," ucapnya sambil memindahkan sayuran hijau itu ke sebuah wadah.
Kedua tanganku reflek menyentuh pipi sambil mengerucutkan bibir. Hal tersebut justru membuat Mas Aksa terkekeh kecil, begitu juga dengan satu tangannya yang sudah bertengger di pipiku. Jemari itu mengusap naik-turun membuat napasku seperti disedot vacuum cleaner. "Jadi?" tanyanya lembut.
Aku menghela napas, bergerak mundur untuk memutus jarak kami yang terlalu dekat. "Cakra ... saya kepikiran karena dia belum datang."
Entah penglihatanku keliru atau tidak, aku melihat Mas Aksa mengernyit kesal walau buru-buru memasang wajah tenang. Dia mengusap wajah sesaat dengan helaan napas yang terdengar berbarengan. "Kenapa harus mengkhawatirkan Cakra?" tanyanya yang menurutku aneh.
"Mas, kamu lupa apa yang terjadi tadi siang di sini?" Aku berdeham kecil untuk membersihkan tenggorokkanku yang mendadak kering. "Cakra hampir melukai ... perempuan itu."
Dia menggeleng, menatapku sebentar, lalu tiba-tiba mengusap pelan belakang kepalaku. "Semua hal-hal buruk yang ada di sini ... buang jauh-jauh," tangannya beralih menggengam tanganku, "Cakra enggak mungkin senekat itu."
Sentuhan Mas Aksa begitu menenangkan, membuatku mau tak mau mengalah. Kuredam perasaan cemas itu dan kembali bergabung dengan kedua orang tua kami. Syukurnya, tidak lama kemudian, Cakra benar-benar datang dan kembali menjadi adik ipar yang baik seperti biasa.
***
Suasana makan malam ini begitu hangat, membuat perasaanku menjadi lebih baik. Bayangan mengenai kejadian tadi siang perlahan menghilang dari benak. Aku percaya bahwa semua akan selalu baik-baik saja. Namun, aku tahu pasti bahwa apa pun yang pernah tejadi selalu meninggalkan bekas. Helaan napasku tak bisa dicegah, tanganku saling menggenggam di bawah meja. Suara tawa Ayah dan Ibu sekaligus kedua orang tua Mas Aksa membuatku berharap bahwa kebersamaan ini tak akan pernah menjadi semu pun bisa terus kami lalui di masa depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surprisingly Wedding [NEW VERSION/ONGOING]
General FictionPernahkah kamu membayangkan menjadi seorang istri secara tiba-tiba, disaat kamu tidak pernah sekalipun merasa telah dinikahi oleh laki-laki mana pun? Itu yang tengah dialami Dhera, hidupnya terasa makin membingungkan ketika perlahan hatinya menerim...